REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kericuhan suporter yang terjadi di tengah berlangsungnya laga pembuka Liga 1 2019 antara PSS Sleman dan Arema FC di Stadion Maguwoharjo, Sleman, Rabu (15/5) malam, disesalkan sejumlah pihak. Pengamat sepak bola nasional, Akmal Marhali, menilai, perhelatan Liga 1 musim ini sekadar menggugurkan tanggung jawab.
Baik Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) maupun PT Liga Indonesia Baru (LIB), kata dia, tidak melakukan perbaikan sama sekali pada hal-hal yang fundamental. Utamanya adalah perihal penunjukkan wasit yang kredibel untuk memimpin pertandingan.
Koordinator Save Our Soccer (SOS) ini menyebut wasit beberapa kali melakukan kesalahan dalam mengambil keputusan terkait off-side. "Ini masalah klasik setiap musim yang tak juga dilakukan perbaikan. Tidak ada penyegaran wasit. Tidak ada upgrade wasit," kata Akmal kepada Republika, Kamis (16/5).
Akmal juga mempertanyakan kinerja Badan Independen Wasit yang dibentuk oleh PSSI dan LIB. Sebelumnya, LIB dan PSSI telah membentuk Badan Independen Wasit yang bertugas untuk mengatur dan menugaskan wasit di seluruh pertandingan Liga 1 musim ini. Menurut Akmal, Badan ini juga seharusnya bertindak cepat dan tegas untuk memberikan penilaian pada kinerja wasit.
"Kesalahan elementer dan buruknya pemahaman wasit terhadap rule of the games dari IFAB (International Football Association Board) bisa menjadi pemicu kekisruhan di lapangan," ujarnya.
Dia menambahkan, Komite Disiplin (Komdis) PSSI juga harus segera mengambil keputusan tegas dan memberikan sanksi kepada Panpel PSS Sleman yang dapat memberikan efek jera. Ini agar klub lain bisa lebih berhati-hati dan mencegah kejadian serupa menimpa mereka.
Menurut dia, Komdis maupun Komite Banding (Komding) tidak pernah tegas dalam memberikan hukuman. Dia mencontohkan, soal kasus hukuman tanpa penonton kepada Bali United dan PSS Sleman yang tiba-tiba dianulir menjelang Liga 1 2019 bergulir. Padahal, kata dia, banding sudah bisa dilakukan tiga hari setelah putusan Komdis dikeluarkan.
"Tapi ini sudah lama tiba-tiba ada banding. PSSI terlalu mudah menganulir putusan hukum yang sifatnya immaterial. Tapi, kalau denda jarang sekali terjadi (banding), kalau bisa ditambah," ujarnya.
Selain itu, Akmal juga mempertanyakan kinerja Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI) yang seharusnya melakukan pengawasan terhadap kompetisi Liga 1. Menurut dia, kejadian tersebut tidak mungkin terjadi jika BOPI, PSSI, dan panpel pertandingan telah melakukan persiapan secara matang.
Dia mengatakan, pihak berwenang juga harusnya berbenah. Dia berharap ke depan polisi rutin melakukan sosialisasi terhadap suporter untuk tidak rusuh di setiap pertandingan saat mendukung klub kebanggaan.
“BOPI harus bertanggung jawab atas kasus semalam akibat tidak efektifnya kinerja sebagai badan pengawas profesional. BOPI lebih sebagai tukang stempel, kalau BOPI tugasnya hanya seperti ini lebih baik dibubarkan saja karena hanya memperpanjang birokrasi administrasi," ujar Akmal.
Menurut dia, BOPI seharusnya sejak awal bisa lebih tegas melakukan pengecekan kesiapan kompetisi agar reformasi tata kelola yang diinginkan bisa berjalan. "Tapi nyatanya nggak berbuat apa-apa," tuturnya.
PT LIB selaku operator kompetisi menuntut laporan yang komprehensif dari beberapa pihak terkait kisruh di Sleman. Setelah itu, PT LIB baru akan bersikap. "Di antaranya panitia pelaksana setempat dan juga laporan dari pengawas pertandingan. Setelah itu, kami akan mempelajarinya terlebih dulu secara detail,” kata Direktur PT LIB Dirk Soplanit, dikutip dari laman resmi Liga 1, Kamis (16/5).
Sekretaris Jenderal PSSI Ratu Tisha Destria menyayangkan terjadinya keributan pada laga pembukan Liga 1. Tisha menjamin Komdis akan bersikap tegas terkait pertandingan ini. "Selanjutnya kami menunggu laporan panpel karena kejadian ini harus diusut secara tuntas," kata Tisha.
Tisha mengatakan, insiden ini akan menjadi pelajaran serta evaluasi agar pada laga-laga selanjutnya tidak terulang. "Kami juga terus menhimbau suporter agar bersikap dewasa dan menahan diri agar tidak mudah melakukan tindakan-tindakan yang merugikan klub," ujarnya.
Belum ada tersangka
Polisi sempat mengamankan enam orang usai kericuhan yang sempat mewarnai laga PSS kontra Arema di Stadion Maguwoharjo. Namun, semuanya sudah dipulangkan.
Kabid Humas Polda DIY AKBP Yulianto mengatakan, semua orang yang diamankan dipulangkan lantaran tidak ada laporan yang masuk. Artinya, hingga kini belum ada pelaku kerusuhan yang diringkus polda.
"Diamankan itu proses pencegahan supaya (kericuhan) tidak berkembang lebih luas lagi, sehingga beberapa orang diamankan," kata Yuli saat ditemui di Mapolda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Kamis (16/5) siang.
Yuli menerangkan, hingga kemarin siang belum laporan ada korban baik luka-luka atau meninggal yang masuk ke polisi. Termasuk, laporan-laporan kerusakan yang ternyata juga belum diterima polisi.
Ia menerangkan, pelaksanaan Liga 1 sendiri izinnya dikeluarkan Mabes Polri. Meskipun, rekomendasi datang dari Polda DIY. Soal laga PSS kontra Arema yang diwarnai ricuh, kata dia, pasti akan ada evaluasi. Dari sejumlah aspek, evaluasi pengamanan tentu akan menjadi yang utama.
"Kurangnya apa, yang belum dilakukan apa, itu pasti dilakukan evaluasi, kalau evaluasi dari pelaksanaan pertandaingan sendiri tentu bukan hanya ranah polisi," kata Yulianto.
Rekomendasi untuk menggelar pertandingan tanpa penonton atau menggelar pertandingan di tempat netral diakuinya bisa saja diberikan. Namun, menurut dia, kericuhan pada laga PSS kontra Arema di luar dugaan. Itu karena tidak pernah ada sejarah gesekan yang melibatkan para suporter dari kedua klub tersebut. Ia pun berharap sopurter lebih dewasa dalam menikmati sepak bola.
"Kalau mengharapkan peran polisi menenangkan penonton, mungkin polisi tidak sanggup, tapi harus dari banyak pihak, jadi kalau dikaitkan jumlah personel yang melakukan pengamanan tidak terlalu signifikan," ujar Yuli.