Selasa 21 Mar 2023 08:26 WIB

Pertemuan Xi-Putin Kemungkinan Bahas Dukungan Kedua Negara dalam Konflik Rusia-Ukraina

Moskow sangat bergantung pada Beijing dalam membangun dunia anti-Barat.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Nidia Zuraya
 FILE - Presiden China Xi Jinping (kanan) dan Presiden Rusia Vladimir Putin berbicara satu sama lain selama pertemuan mereka di Beijing pada 4 Februari 2022.
Foto: AP/Alexei Druzhinin/Pool Sputnik Government
FILE - Presiden China Xi Jinping (kanan) dan Presiden Rusia Vladimir Putin berbicara satu sama lain selama pertemuan mereka di Beijing pada 4 Februari 2022.

REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Presiden Cina Xi Jinping telah melakukan pertemuan santai dengan Presiden Vladimir Putin setelah sampai di Moskow pada Senin (20/2/2023). Dalam kunjungan pertama usai invasi Rusia ke Ukraina, kemungkinan agenda yang akan dibicarakan seputar kerja sama dan dukungan kedua pihak.

Menurut analisa BBC, Putin dinilai telah memulai perang yang tidak sesuai rencana. Dia harus menghadapi sanksi global yang luas dan ditambah surat penangkapan yang dikeluarkan Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) pada pekan lalu.

Baca Juga

Kondisi tersebut yang membuat Putin membutuhkan rekan, salah satunya Xi. Kedudukan Xi dinilai setara, terlebih lagi pemimpin Cina itu pernah menyebut Putin sebagai "sahabatnya". Keduanya juga memiliki banyak kesamaan, termasuk menganut gagasan multi-pola tanpa dominasi Amerika Serikat (AS).

Kunjungan kenegaraan presiden Cina juga adalah tanda dukungan yang jelas untuk Rusia pada saat Kremlin berada di bawah tekanan internasional yang kuat. "Putin sedang membangun bloknya sendiri. Dia tidak mempercayai Barat lagi, dan dia tidak akan pernah lagi," ujar jurnalis pemenang Hadiah Nobel Perdamaian Dmitry Muratov.

"Jadi, Putin sedang mencari sekutu dan mencoba menjadikan Rusia bagian dari benteng bersama dengan Cina, serta dengan India, beberapa bagian Amerika Latin dan Afrika. Putin sedang membangun dunia anti-Baratnya," ujarnya.

Moskow sangat bergantung pada Beijing dalam membangun dunia anti-Barat. "Perang telah menjadi prinsip pengorganisasian politik dalam negeri Rusia, kebijakan luar negeri dan kebijakan ekonomi. Ada obsesi untuk menghancurkan Ukraina," kata  peneliti senior di Carnegie Endowment for International Peace Alexander Gabuev.

“Untuk itu Anda membutuhkan senjata, uang, dan garis hidup ekonomi. Cina memberi Rusia, setidaknya, komponen untuk senjata, dan teknologi sipil yang dapat digunakan untuk tujuan militer. Itu pasti menyediakan uang," ujar Gabuev.

Untuk melawan sanksi Barat, dan untuk menopang perekonomian negara, Rusia telah meningkatkan perdagangan dengan Cina, terutama di sektor energi. Pipa minyak, gas, dan energi dimungkinakan menjadi agenda pada pembicaraan resmi Putin-Xi pada Selasa (21/3/2023).

Tapi, Cina dinilai akan memberikan batas, meski sebelumnya kedua negara menyatakan 'kemitraan tanpa batas'. Sampai saat ini Beijing tampaknya enggan memberikan bantuan militer langsung ke Moskow, karena takut memicu sanksi sekunder di Barat terhadap perusahaannya.

“Menjelang kunjungan Presiden Xi ke Moskow, beberapa ahli di sini terlalu bersemangat, bahkan sangat gembira. Namun Cina hanya dapat memiliki satu sekutu: Cina sendiri. Cina hanya dapat memiliki satu kepentingan: yang pro-Cina. Kebijakan luar negeri Cina sama sekali tanpa altruisme," kata cendekiawan militer Mikhail Khodarenok.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement