Ahad 08 Oct 2023 06:47 WIB

Pakar Forensik: Gregorius Tannur Patut Dijerat Pasal 338 Tentang Pembunuhan

Korban kebiadaban Gregorius Ronald Tannur merupakan janda satu anak.

Tersangka kasus dugaan penganiayaan, R (kanan) dihadirkan saat konferensi pers di Polrestabes Surabaya, Jawa Timur, Jumat (6/10/2023). Polrestabes Surabaya menetapkan R yang diduga merupakan putra anggota DPR RI sebagai tersangka dalam kasus dugaan penganiayaan yang menyebabkan korban bernama Dini Sera Afrianti meninggal dunia.
Foto: ANTARA FOTO/Didik Suhartono
Tersangka kasus dugaan penganiayaan, R (kanan) dihadirkan saat konferensi pers di Polrestabes Surabaya, Jawa Timur, Jumat (6/10/2023). Polrestabes Surabaya menetapkan R yang diduga merupakan putra anggota DPR RI sebagai tersangka dalam kasus dugaan penganiayaan yang menyebabkan korban bernama Dini Sera Afrianti meninggal dunia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel mendorong penyidik Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes) Surabaya menerapkan Pasal 338 terhadap Gregorius Ronald Tannur (GRT). GRT saat ini ditetapkan sebagai tersangka kasus penganiayaan berat yang mengakibatkan kematian Dini Sera Afrianti (DSA).

 

Baca Juga

"Polrestabes Surabaya patut mendalami kemungkinan penerapan Pasal 338 KUHP," kata Reza dalam keterangan di Jakarta, Sabtu (7/10/2023).

 

Ia menjelaskan, bila mencermati rangkaian kronologis perilaku kekerasan yang dilakukan GRT kepada korban DSA sangat bengis dan bereskalasi. Reza memaparkan, dari urutan kronologis tersebut, terindikasi bahwa perilaku kekerasan GRT bereskalasi. Dari menyasar organ tubuh bagian bawah (kaki) ke organ tubuh bagian atas (kepala).

 

"Dari sebatas tangan kosong ke penggunaan alat yang tidak perlu dimanipulasi (botol), dan berlanjut ke penggunaan alat yang perlu dimanipulasi (mobil)," katanya memaparkan.

 

Menurut dia, eskalasi kekerasan sedemikian rupa, ditambah lagi karena tidak ada yang meleset dari organ vital korban serta terdapat jeda antara menabrak dan episode kekerasan sebelumnya, yang mengindikasikan GRT sebenarnya berada dalam tingkat kesadaran yang memadai baginya untuk meredam atau bahkan menghentikan perbuatannya. Namun, lanjut dia, alih-alih menghentikan tindakannya, dalam kondisi kesadaran tersebut GRT justru menaikkan intensitas kekerasan terhadap sasaran.

 

Reza menilai hal itu menjadi penanda bahwa GRT sengaja tidak memfungsikan kontrol dirinya untuk menahan atau bahkan menghentikan serangan. "Tapi justru memfungsikan kontrol dirinya untuk meneruskan dan bahkan memperberat perilaku kekerasannya," tegas Reza.

 

Kemudian, lanjut dia, dengan kondisi kesadaran dan aktivasi kontrol sedemikian rupa, patut diduga bahwa GRT pun mampu untuk sampai pada pemikiran bahwa ia akan melakukan perbuatan yang dapat menewaskan korban. Dengan kata lain, diperkirakan bahwa pada waktu itu di kepala GRT sudah muncul pemikiran atau imajinasi tentang kematian korban.

 

Apakah korban dalam keadaan hamil?

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement