REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Klub-klub sepakbola di berbagai daerah perlu memiliki skenario pembiayaan yang bisa melibatkan pihak swasta, sehingga bisa menjadi klub profesional dan tidak tergantung pada APBD. Semua klub pada saatnya harus berhenti menggunakan APBD karena melanggar peraturan pemerintah (PP) dan peraturan mendagri.
"Karena ini masih tahap transisi, ada kesulitan dialami klub sepak bola untuk mematuhi PP dan permendagri," ujar Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah, Velix Vernando Wanggai, di sela pertemuan 'Peningkatan Potensi Daerah Melalui Identitas Lokal dalam Sepakbola', di Gedung Watimpres, Kamis (26/8).
Acara tersebut dihadiri tokoh sepakbola Kesit B Handoyo, pengamat Andi Bachtiar Yusuf, Wakil Gubernur Jabar Dede Yusuf, dan Wakil Gubernur Jatim Saifullah Yusuf. "Pemerintah mengarahkan bahwa harus ada penggunaan dana APBD yang lebih transparan dan terkelola dengan baik," kata Velix.
Velix menyadari bahwa klub-klub sepak bola, baik yang profesional maupun amatir, masih tergantung pada APBD. "Namun, ada satu dua klub berusaha melepaskan diri dari APBD, dengan menerapkan strategi besar kerangka pembiayaan sepak bola," katanya. Hal itu bisa mulai dilakukan oleh klub-klub lainnya.
Menurut Velix, penggunaan APBD untuk kegiatan olah raga itu sebenarnya bukan untuk sepak bola saja. "Sepak bola hanya salah satu jenis olahraga yang dalam pembiayaan pemerintah, yang kami harapkan sebetulnya anggaran APBD tidak sepak bola tapi ada jenis olahraga lain yang harus dibina, tidak kepada sebuah klub tapi bagaimana pembangunan fisik olahraga," katanya.
Velix mengatakan, klub di Jawa Barat dan Jawa Timur kini ada yang sudah lepas dari APBD. "Kalau kita lihat ada perbedaan karakterisktik wilayah, ada yang mampu dari APBD tapi ada yang terbatas dari APBD," katanya.
Velix menilai penting adanya inovasi dalam melakukan pembiayaan dari dunia usaha melalui kolaborasi dengan pemda dan pihak sponsor.
Wakil Gubernur Jabar Dede Yusuf mengatakan, APBD tidak lagi bisa dirancang secara jor-joran. Dengan kata lain, ada skala prioritas dalam penyusunannya. Kalau pun ada dana yang dikeluarkan untuk olah raga, maka harus diprioritaskan untuk membangun infrastruktur dan pembinaan.
"Harus dirasakan semua cabang olah raga, tidak hanya sepakbola," kata Dede. Untuk menyiasati hal itu, pembiayaan klub Persib di Jawa Barat dilakukan dengan menggandeng konsorsium perusahaan sebagai stakeholder dari klub itu sendiri, sehingga langkah klub akan semakin ringan meski intervensi tetap ada.