REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Anggota Komisi X DPR RI (bidang Pendidikan Nasional, Pemuda dan Olahraga), Angelina Sondakh meminta PSSI jangan dulu mengganggu Liga Primer Indonesia sepanjang event tersebut berniat baik bersama membangun dunia persepakbolaan itu. "Sebagai kompetisi yang dicita-citakan menjadi profesional dan bersih, seharusnya Liga Primer Indonesia (LPI) diberi kesempatan untuk membuktikan dirinya tanpa harus diganggu, apalagi diancam-ancam," tegas anggota Fraksi Partai Demokrat di Jakarta.
Ia menambahkan, sikap PSSI yang berkeras dengan menyatakan LPI sebagai kompetisi ilegal dan harus dilarang, justru semakin menunjukkan arogansi organisasi olahraga tertua di Indonesia tersebut. "Hal ini juga telah saya nyatakan dengan resmi pada forum rapat kerja (Raker) Komisi X DPR RI dengan Menteri Pemuda dan Olahraga, pak Andi Mallarangeng, pada hari Rabu (19/1)," ungkap mantan Putri Indonesia ini.
Sebagaimana diberitakan berbagai media, saat itu sedang terjadi perselisihan antara pengelola LPI dengan jajaran Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI), karena induk organisasi sepakbola ini menolak keberadaan kompetisi tersebut. Kondisi ini menimbulkan keprihatinan tersendiri bagi Angelina Sondakh (AS) dan beberapa rekannya di Komisi X DPR RI.
"Sungguh merupakan suatu ironi sebenarnya, di saat bangsa ini dilanda euforia sepak bola berkat penampilan elok tim 'Garuda Merah-Putih' pada Piala AFF, kegembiraan itu dirampas oleh arogansi dan politisasi para pengurus sepak bola", tandasnya
Cari Penyelesaian Secepatnya
Karena itu, AS bersama rekan-rekannya mengharapkan masalah ini harus dicarikan penyelesaian secepatnya, agar tidak menganggu iklim kerja serta semangat dalam rangka persiapan atlet sepakbola bertarung di berbagai kompetisi tingkat regional. LPI yang dibentuk oleh pengusaha Arifin Panigoro diakui beberapa pihak, dihadirkan sebagai bentuk kekecewaan terhadap PSSI di bawah kepimpinan Nurdin Khalid, karena dinilai tidak pernah menghasilkan prestasi secara internasional.
LPI merupakan organisasi sepakbola yang bersifat profesional, karena memiliki dan mengelola anggaran sendiri. "Tetapi anehnya, ini dianggap ilegal oleh PSSI yang mengelola Liga Super Indonesia (LSI) sementara LSI sendiri selama ini anggarannya masih menggunakan APBD dan APBN," ujarnya.
AS berpendapat, bisa saja keberadaan LSI yang perlu ditinjau ulang, karena masih menggunakan anggaran negara dan daerah dalam pengelolaannya, padahal diklaim sebagai organisasi profesional. "Lebih dari itu, sebenarnya akan lebih baik jika PSSI bertindak lebih arif dengan memberikan ruang kepada LPI untuk duduk bersama demi kebangkitan sepak bola nasional," ujarnya.
Selain itu, yang jauh lebih penting untuk diperhatikan dalam dunia persepakbolaan tanah air saat ini, menurut AS, ialah, aspek non prestasi seperti seperti meningkatnya ekonomi kerakyatan. "Seperti misalnya banyak sekali pedagang yang menjual atribut Indonesia, kemudian meningkatnya nasionalisme, di mana semua bangga dengan menyanyikan lagu 'Garuda di Dadaku'," tuturnya.
Bagi AS, aspek non prestasi inilah yang sebenarnya merupakan komponen pendukung utama yang dapat membangkitkan gairah sepakbola tanah air. Karena itu, ia menyarankan, Pemerintah harus serius memfasilitasi kekisruhan yang ada di dunia sepak bola Indonesia.
"Sebab, sepakbola tidak hanya bisa diukur dari aspek prestasi saja, tetapi dari aspek non prestasinya, yang juga harus diperhitungkan, sehingga memang sepak bola perlu lebih diperhatikan saat ini," tandas AS lagi.