REPUBLIKA.CO.ID,PSSI VS KPSI, "Kita nothing to lose saja. Lawan memiliki kekuatan yang jauh di atas. Sedangkan kita persiapan sangat singkat,"
Petikan kalimat di atas, saat ini sering melekat di setiap wartawan ketika akan menghadiri acara konferensi pers tim nasional Indonesia jelang sebuah laga internasional. "Nothing to lose" (tidak ada beban untuk kalah) adalah frase andalan para pengurus sepak bola yang seakan tak berdaya dalam mendongkrak prestasi sepak bola Indonesia.
Nothing to lose-nya pengurus sepak bola ketika berbicara soal peluang timnas, bisa jadi realistis kalau diucapkan hanya di sesekali kesempatan.
Tak ada yang heran jika kata nothing to lose itu terlontar jelang laga timnas versus Korea, Jepang, atau Brasil.
Namun jika frasa itu selalu menyertai setiap langkah Garuda, maka ada sesuatu yang salah dalam pengelolaan sepak bola. Pada akhirnya kata nothing to lose ini yang menjadi titik persamaan antara rezim PSSI era Nurdin Halid dan Djohar Arifin Husin. Kedua kubu yang hingga kini masih berseteru itu sama-sama mengedepankan mental siap kalah ketika mengurusi tim nasional. Celakanya, frasa nothing to lose ini terus mengalami perluasaan penggunaan kata.
Jika dahulu negara negara Asia Timur dan Timur Tengah menjadi objek dari frasa nothing to lose, kini PSSI pun mulai menatap Asia Tenggara dengan mental siap kalah. Ini seperti yang diucapkan oleh salah satu pengurus sepak bola nasional jelang timnas berlaga di turnamen Hassanal Bolkiah. "Kita tentu mengharapkan yang terbaik. Tapi kita harus sadar persiapan kita singkat. Di samping itu kita tidak memiliki kompetisi di bawah umur selain 21 tahun. Jadi kita realistis, main nothing to lose saja," kata Bob Hippy mengomentari keikutsertaan timnas U-21 di turnamen antar umur Asia Tenggara tersebut.
Mental nothing to lose terus menjangkiti kondisi riil sepak bola Indonesia di atas lapangan. Label siap kalah yang disematkan ke anak-anak muda berumur dibawah 21 tahun, seakan merobohkan mimpi, harapan, serta motivasi putra bangsa. Di usia muda, sudah sejatinya para muda-mudi ini menggantungkan mimpi dan cita-cita tinggi. Karena mimpi berarti motivasi untuk untuk merertas jalan kesuksesan di masa depan. Pendekatan nothing to lose yang dipakai pengurus adalah contoh penanaman mental yang kurang baik bagi seorang pemain muda usia.
Jangan salah jika nantinya mental yang ada di benak anak-anak muda ini tidak jauh berbeda dengan para seniornya yang sudah biasa dijejali pemikiran "siap kalah" yang "didoktrin" para pengurus sepak bola.
Hasilnya pun jadi tergambar nyata sepanjang timnas mengarungi 90 menit pertandingan tanpa gelar juara.
Krisis prestasi selama 20 tahun akhirnya jadi relevansi frasa nothing to lose yang juga sudah familiar terdengar sepanjang dua dekade terakhir.
Mental legowo kalah ini ironisnya berbanding terbalik dengan sikap gigih pengurus di meja organisasi.
Jika di lapangan kata nothing to lose jadi andalan, maka di peta pertarungan politik sepak bola, kata "must win" (wajib menang) jadi harga mati. "PSSI tidak akan mundur satu langkah pun. Karena kami berjalan sesuai koridor. Hanya Tuhan yang bisa membuat kami mundur," kata Bob Hippy.
Kegigihan, spirit pantang menyerah, dan pengorbanan juga ditampilkan oleh eks pengurus yang kini tergabung dalam KPSI. Komite yang mengklaim telah mengkudeta PSSI itu selalu mengungkapkan jika pihaknya menyuarakan kebenaran. "KLB sudah harga mati. Djohar Arifin cs telah kehilangan legitimasi," kata salah satu anggota KPSI, La Nyalla Mattalitti.
Mental siap kalah di atas lapangan, namun selalu ingin menang ketika berbicara kursi organisasi adalah tabir sesungguhnya dari dua kubu sepak bola Indonesia yang berseteru. Situasi yang tentu menyedihkan karena sepak bola Indonesia lebih diartikan prestasi di pucuk kursi organisasi. Untuk urusan prestasi di lapangan? Kata nothing to lose-lah jadi jawaban dari kedua kubu!
Masyarakat mungkin kini sudah persetan dengan siapa yang akan "memenangkan" duel antara PSSI versus KPSI. Jika bisa memohon pada tuhan, mungkin kita bisa berdoa agar otak para pengurus PSSI dan KPSI diputar-balik 180 derajat.
Doa agar mental selalu ingin menang (must win) jutru ditampilkan para pengurus ketika berbicara soal prestasi timnas di lapangan. "Kita targetkan kemenangan dan jadi yang terbaik!" mungkin kata itulah yang diharapkan didengar wartawan setiap menghadiri acara konferensi pers timnas suatu saat kelak.
Dan jika perkataan itu gagal diwujudkan, tentu masyarakat ingin pengurus sepak bola Indonesia "nothing to lose" dalam meletakkan jabatan organisasi.
Sejatinya tidak ada yang kalah dan menang dalam berebut kursi organisasi sepak bola nasional.
Karena toh mau PSSI atau KPSI yang kelak “menang, tetap orang Indonesia yang jadi "juara". Sebaliknya kekalahan di atas lapangan bersifat mutlak, karena itu berarti kekelahan pula bagi PSSI, KPSI, dan seluruh negeri.