Rabu 15 Feb 2012 08:00 WIB

TENDANGAN BEBAS: Ken Arok, Bung Hatta, dan Konflik Sepak Bola

Suporter timnas Indonesia.
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Suporter timnas Indonesia.

Oleh: Abdullah Sammy

Mudah menemukan sejuta alasan pembenaran konflik perseteruan. Namun, sulit menemukan sebuah kebesaran hati yang berarti kerelaan untuk membunuh jutaan alasan.

Jangan tanya berapa banyak konflik yang sudah terjadi di tanah Ibu Pertiwi. Dari zaman Ken Arok 'megang' keris hingga eranya perampok memakai dasi, kisah konflik selalu terus terjadi.

Saking lekatnya bangsa ini dengan konflik, para penjajah bahkan tidak harus selalu repot angkat senjata untuk menguasai Ibu Pertiwi. Cukup bagi mereka melakukan taktik devide et impera, maka dua kelompok anak bangsa bisa saling bunuh dan akhirnya “kompeni” lah yang tertawa dengan kemenangannya.

Jika ada survei yang disebar kepada seribu warga Indonesia berisi pertanyaan 'lebih besar mana antara bakat bangsa ini dalam berkonflik atau bersepakbola?' Bisa jadi yang memilih konflik sebagai jawaban ada 10 ribu orang.

Mau bukti? Tengoklah kondisi sepak bola nasional yang lebih disemarakkan konflik para pengurusnya ketimbang permainan olah bola di lapangan. Ada PSSI dan KPSI yang sama-sama adu strategi, kegigihan, dan skill dalam berkonflik.

Di sisi lain, konflik pun tak jarang merembet ke lapangan. Berkelahi, mengumpat wasit, hingga perkelahian antar suporter adalah gambar buram kondisi di kompetisi dalam negeri kini.

Banyak yang bertanya, di mana letak permasalahan sepak bola nasional sehingga selalu berkubang dalam pusaran konflik? Jawabannya tercermin dari ulah orang yang seharusnya mengurusi sepak bola.

Semangat Jong Ambon-Bung Hatta

Lihat saja bagaimana KPSI (Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia) ngotot menolak ajakan damai dan lebih memilih solusi mengkudeta kursi pimpinan PSSI. Solusi yang lebih menyerupai penyelesaian sengketa politik ketimbang olahraga. "KLB harga mati!" begitu pernyataan yang kerap disampaikan kubu KPSI.

Alibi KPSI dalam memperjuangkan sikapnya mendukung Liga Super Indonesia (LSI) dan menolak Liga Primer Indonesia (LPI) memang cukup kuat. Mereka merujuk hasil Kongres Bali dan interpertasi ayat statuta PSSI.

Alibi yang kuat pula dimiliki Jong Ambon pada tahun 1928. Mereka punya banyak alasan untuk menolak bahasa persatuan Indonesia yang didominasi kata dalam bahasa Melayu. Namun, kebesaran hati mereka yang menerima bahasa persatuan Indonesia akhirnya mampu menghasilkan sebuah kekuatan yang tidak terhingga: sumpah pemuda dan akhirnya kemerdekaan Indonesia.

Pun halnya kerelaan menempuh jalan diplomasi yang diambil para pemangku negeri dengan Belanda pada 2 November 1949. Jalan diplomasi yang akhirnya membuat bangsa ini diakui dunia. Bagaimana seorang Muhammad Hatta mampu menepikan emosi, warisan konflik, serta egonya untuk bernegosiasi dengan penjajah Belanda dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag. Hasil pengorbanan itu akhirnya dirasakan hingga kini yaitu kemerdekaan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sebenarnya Hatta punya banyak alasan kuat menolak berunding dengan penjajah yang telah menyebabkan penderitaan selama berabad-abad. Alasan Hatta untuk tidak kompromi bahkan jauh lebih kuat dibanding alasan statuta yang dipegang teguh KPSI di sepak bola nasional kini. Tapi, jiwa besar kepahlawanannya membuat Hatta mampu mengesampingkan gejolak konflik demi tujuan bangsa yang lebih besar di masa depan.

Hal itu pulalah yang hendaknya dicontoh KPSI dan PSSI. Jiwa kepahlawanan untuk menyelamatkan sepak bola nasional harus dikedepankan ketimbang saling menjatuhkan satu sama lain.

Perjuangan menegakkan statuta memang penting. Tapi itu tidak ada artinya bila dibandingkan persatuan anak bangsa demi prestasi sepak bola Indonesia. Karena toh negara lain tidak ada yang dirugikan dengan polemik LSI vs LPI. Yang rugi justru sepak bola kita yang harus percah belah oleh konflik berkepanjangan.

LPI Versus LSI

Tapi, tidak ada salahnya pula jika konflik LPI dan LSI tetap dipertahankan secara sehat via industri sepak bola. Bayangkan kalau gengsi LSI dan LPI disalurkan secara resmi di dalam satu format kompetisi. Sebagai contoh, beberapa tim terbaik LSI dan LPI diadu untuk membuktikan mana yang terbaik di Indonesia.

Pastinya hal itu akan membuat konflik kompetisi berkembang jadi positif. Kedua kubu akan berlomba untuk meningkatkan kualitas kompetisi di lapangan demi gengsi dua kelompok besar sepak bola nasional.

Jika jalan konflik ini yang dipilih, pastinya masyarakat akan terpuaskan dengan sajian perseteruan panas di lapangan. Masyarakat pun tidak perlu dirundung kekesalan lagi karena melihat tokoh KPSI dan PSSI berseteru di media. Karena, yang dibutuhkan hanya persaingan sehat di lapangan sepak bola selama 90 menit, titik.

Namun, mewujudkan semua itu diperlukan jiwa besar dari tokoh PSSI dan KPSI untuk berkorban. Bagi PSSI, mereka harus segera menyudahi adanya klub-klub kloning --sebagai contoh yang kini melanda Persija Jakarta. Karena secara kasat mata, publik sepak bola tentu mengetahui manakah Persija yang asli ataupun klub Jakarta FC yang berbaju oranye.

Jika hal itu mampu dicapai PSSI, maka tinggal kebesaran hati KPSI untuk menerima klub LPI lain dan memendam gelora untuk melakukan kudeta organisasi.

Kini masyarakat tinggal menuggu apakah akan ada jiwa kepahlawanan di dunia sepak bola layaknya sosok Hatta. Atau, justru KPSI dan PSSI lebih ingin menjadi 'Ken Arok sepak bola' yang memilih menyelesaikan konflik lewat hujaman 'keris' dan kudeta?

Jika jalan itu yang diambil, maka kisah KPSI dan PSSI akan bersanding dengan sejarah Singosari yang jadi warisan kisah kelam bagi anak cucu bangsa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement