REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Abdullah Sammy
Polemik “bola hantu” di laga Milan vs Juventus terus bergulir melewati batas lapangan. Perdebatan utama adalah soal gol Sulley Ali Muntari yang tidak disahkan wasit Paolo Tagliavento dan hakim garis Romagnoli.
Kasus ini kini disebut dengan istilah popular “bola hantu” merujuk frasa yang dipopulerkan oleh Jose Mourinho mengomentari gol kontroversial Luis Garcia di laga semifinal Liga Champions musim 2004/2005 antara Liverpool vs Chelsea.
Kontroversi bola hantu kini tidak hanya sebatas perdebatan, tapi berkembang jadi sebuah perang. Para pendukung Milan dan Juventus saling hujat di jejeraing sosial. Sedangkan para petinggi klub mulai melontarkan kata tidak simpatik pada sang lawan.
Andriano Galliani kepada La Gazzetta Dello Sport mengatakan, persahabatan Milan dan Juventus berakhir. Kini badai peperangan jadi respon atas episode kontroversial laga yang berkesudahan 1-1.
Kubu Juventus tidak tinggal diam. Mereka menilai timnya pun dirugikan dengan tidak disahkannya gol Alessandro Matri. Pelatih Juventus, Antonio Conte memandang tidak disahkannya gol Muntari dan Matri memiliki sisi kerugian pada masing-masing tim.
Conte membantah keras anggapan legenda Milan Zvonimir Boban yang menyatakan dianulirnya gol Muntari jauh lebih esensial dibanding gol Matri. Conte dan Boban pun terlibat dalam perdebatan panas di stasiun tv, Sky Sports Italia. Walhasil perdebatan Conte-Boban pun melebar dari hanya di layar kaca hingga ke dunia nyata yang melibatkan jutaan pendukung kedua tim.
Untuk mengurai benang kusut bola hantu dan kontroversi laga Milan vs Juventus, detail peristiwa pertandingan bisa jadi awal uraian. Sebelum episode bola hantu Muntari, kubu Milan memang tengah di atas angin. Sebuah gol yang dicetak Antonio Nocerino di menit 14 membuat Milan percaya diri. Sebaliknya, pertahanan Juventus terus jadi bulan-bulanan Rosoneri yang unggul mutlak dalam hal penguasaan bola.
Bola hantu Muntari sendiri diawali oleh sebuah serangan balik Milan. Serangan itu sendiri terjadi saat seorang pemain Milan, Thiago Silva sedang terkapar di lapangan. Bola tidak dibuang keluar lapangan oleh pemain Milan. Sebaliknya, serangan terus dilancarkan Milan dengan hanya mengandalkan 10 orang pemain.
Bola pun dihalau oleh Andrea Barzagli yang akhirnya menghasilkan sepakan pojok untuk Milan. Sepak pojok inilah yang jadi awal kontroversi besar di laga Milan vs Juventus. Berawal dari sepak pojok, bola berhasil ditendang masuk Muntari ke dalam gawang Juventus— walau kemudian dihalau Buffon.
Namun ironisnya, hakim garis tidak bergeming. Padahal posisi pandang Romagnoli dalam jarak dan kondisi yang sempurna.
Pertanyaan besar pun muncul. Mengapa saat seluruh isi stadion, pemirsa televisi, hingga pemain bisa melihat dengan jelas gol Muntari, tetapi hanya Romagnoli yang tidak melihatnya sebagai sebuah gol bagi Milan?
Sebagian publik pun langsung memandang persitiwa ini dengan sinis. Mereka menuding telah terjadi skandal calicopoli jilid III yang kembali menyeret Juventus dengan korps wasit. Panadangan yang agaknya lebih didorong emosi ketimbang realita di lapangan.
Stasiun Tv Sky Sports pun mendapat sebuah tayangan proses terjadinya gol dari posisi pandang hakim garis. Dari tayangan di sisi Romagnoli itu, memang sangat sulit untuk mengidentifikasi apakah sepakan Muntari telah melewati garis gawang atau tidak. Kejadian ini pun berlangsung dalam hitungan detik.
Dengan masa jenis bola yang hanya 410 gram ditambah bobot sepakan Muntari yang mencapai puluhan kilogram, praktis kecepatan bola sulit dijangkau oleh dua pasang mata manusia yang sejajar di tiang dekat gawang Buffon. Hal ini berbeda dengan pengelihatan di zona lain Stadion San Siro dan televisi yang menyorot dari sisi tiang jauh gawang.
Sebagai agumentasi sulitnya hakim garis dalam mengamati peistiwa Muntari, mari tengok rekaman laga Manchester United vs Tottenham Hotspur pada 4 Januari 2005. Saat itu bola sepakan gelandang Tottenham, Pedro Mendes telah menerjang masuk ke jala MU. Namun hakim garis di posisi tiang dekat, sulit mendapatkan posisi pandang yang baik. Gol Mendes itupun diabaikan hakim garis walau terjadi di menit 90 pertandingan!
Selepas momen Muntari di laga Milan vs Juve, kejadian kontroversi lain terus berlangsung. Diawali aksi pemukulan Philipe Mexes terhadap Marco Borriello, sikutan Pirlo kepada Mark Van Bommel, hingga pemukulan Muntari kepada Stephan Lichtsteiner, semua luput dari pandangan sang pengadil.
Di sisi lain, Romagnoli kembali membuat keputusan kontroversial dengan menganulir gol sah Matri. Terkait hal ini legenda Milan, Boban menyatakan momen dianulirnya Matri berada dalam sudut pandang yang sulit.
Sebaliknya gol Muntari dalam sudut pandang yang jelas. Hal yang diamnini oleh sejumlah jurnalis pro-Milan di antaranya Susy Campanale dan Carlo Pellegatti.
Sah-sah saja memang pandangan itu mengingat para komentator tersebut menyaksikan sendiri tayangan langsung di televise dengan 20 angle kamera berbeda. Momen Muntari pun berulang kali disajikan ulang lewat tayangan lambat. Mudah bagi Boban cs tapi belum tentu untuk hakim garis.
Pun halnya seperti laju seorang Matri yang berlari cepat dengan bobot badannya mencapai 83 kilogram. Kedua momen itu tentunya bisa luput degan pandangan telanjang seorang manusia, tapi mustahil meleset dari kacamata seorang komentator.
Pada akhirnya pula,boleh saja ada pihak yang menganggap bila gol Muntari disahkan pertandingan akan berbeda. Namun bukan berarti sepak bola bisa diartikan secara pasti ibarat sebuah rumus fisika. Mau bukti, tengok saja partai Final Liga Champions musim 2004/2005 antara AC Milan vs Liverpool.
Yang jelas kejadian, kejadian “bola hantu Muntari” sangat mungkin akan terus terulang di masa mendatang jika sepak bola tetap mengandalkan sepasang mata manusia. Kini semua terpulang pada penikmat sepak bola sendiri, apakah tetap rela menyaksikan drama kontroversi di lapangan hijau, atau menyamakan sepak bola dengan olahraga tenis, Football Amerika, dan bola basket yang mulai menggunakan teknologi sebagai penegak keadilan di lapangan
Namun mengutip perkataan seorang legenda sepak bola, Diego Armando Maradona; “Sepak bola besar bukan hanya karena kehebatan, tapi juga sisi kesalahan!”