REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Abdullah Sammy
Dik Doang terduduk di salah satu sudut stadion. Wajahnya tampak putus asa dengan pencapaian yang diraih tim sepak bola Indonesia. Secara spontan dia berkata, “Kapan ya Indonesia bisa masuk Piala Dunia?”
Didorong rasa amarah karena Merah Putih tak kunjung tampil di Piala Dunia, Dik menendang kuat bola ke arah dinding yang terpajang foto megabintang sepak bola dunia, Alessandro Del Piero.
Ajaibnya, tendangan penuh amarah Dik membuat poster seorang Del Piero menjadi hidup. Del Piero pun meraih tubuh Dik Doang masuk ke dalam poster hingga berada di atas rumput Stadion Delle Alpi kota Turin.
Selama beberapa saat, Dik bermain bersama dengan pahlawan Italia di Piala Dunia 2006 itu, sebelum akhirnya jatuh dan kembali ke dunia nyata Indonesia. Di akhir peristiwa ini Del Piero menjawab pertanyaan Dik “Jangan bersedih. Minum saja (minuman berenergi),” kata Del Piero berpromosi.
Perstiwa di atas merupakan salah satu bagian dari iklan sebuah produk minuman berenergi menyambut momen Piala Dunia 2002. Walau sifatnya fiksi, pertanyaan Dik turut mewakili kegundahan hati 240 juta masyarakat Indonesia di dunia nyata yang rutin jadi penonton Piala Dunia setiap empat tahun sekali.
***
Tak kunjung mendapatkan bukti nyata atas prestasi Garuda, pertanyaan “Kapan Indonesia masuk Piala Dunia” pun mengerucut pada sebuah jawaban yang tidak masuk akal. Jawaban yang lebih bermakna perkataan seorang pedangang kepada para pembeli di pasar.
Kini usai Timnas dibabat Bahrain 0-10, mungkin tidak ada satupun perusahaan di Indonesia yang berani memasang iklan serupa dengan tayangan minuman berenergi itu. Alih-alih menarik simpati, pertanyaan “Kapan Indonesia main di Piala Dunia?” Justru akan memantik kegeraman sesisi Nusantara atas momen 90 menit terburuk itu.
Tidak hanya memantik kegeraman, kekalahan lawan Bahrain pun mengundang pertanyaan besar kepada induk sepak bola Indonesia, PSSI. Pertanyaan terbesar masyarakat adalah soal reformasi sepak bola Indonesia yang kerap didengungkan Djohar Arifin cs. Apakah benar reformasi sepak bola telah berjalan ke arah yang benar bila merujuk kekalahan memalukan atas Bahrain?
Sebagian pihak yang masih loyal pada rezim pengurus PSSI lama, menuding jargon reformasi PSSI Djohar telah terbukti menuai kegagalan. Dualisme kompetisi, konflik organisasi, dan prestasi timnas yang terpuruk, jadi alasan kelompok lama menyebut PSSI kepengurusan Djohar telah tamat. KLB pun jadi harga mati bagi sejumlah klub dan juga loyalis pengurus lama yang tergabung dalam Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI).
Di saat kelompok pro KPSI mati-matian menyerang PSSI atas kekalahan atas Bahrain, sebaliknya, kubu pendukung Djohar cs justru bertahan habis-habisan atas segudang kritik yang dialamatkan. Mereka berkilah, kekalahan atas Bahrain lebih diakibatkan buruknya kepemimpinan wasit.
***
Pendukung PSSI pun menyebut rezim status quo sengaja mempolitisir hasil di Bahrain ketimbang berkontribusi untuk mencari solusi bagi tim nasional. Mereka balik mengungkit kegagalan pengurus lama yang selama delapan tahun urung mengantarkan timnas berprestasi
Usaha ngotot KPSI dalam menyerang PSSI dengan kegigihan bertahan atas kesalahan, tidak pelak menghasilkan pertarungan baru yang lebih sengit dibanding perlawanan Indonesia atas Bahrain. Andai saja dua sikap (PSSI dan KPSI) itu mampu ditularkan pada para pemain di lapangan, bisa dipastikan angka 10-0 tidak akan dibawa pulang Merah Putih dari Manama.
Kini nasi sudah menjadi bubur. Indonesia telah dipermalukan di dunia internasional. Penting bagi seluruh pengurus sepak bola Indonesia untuk saling mawas diri. Bagi PSSI, ini bukan lagi saatnya mereka mencari kambing hitam atas kegagalan di Bahrain.
Alasan wasit yang kini didengungkan PSSI menjadikan mereka tidak ubahnya mencontoh gaya klasik kalangan yang mereka cap status quo. Sebaliknya, usaha mencari kambing hitam di setiap kekalahan akan menjadi teladan buruk bagi mental pemain. Jangan salahkan jika nantinya pemain muda Indonesia jadi kerap mengejar wasit di lapangan bila merasa diperlakukan tidak adil oleh wasit.
Penting bagi PSSI agar mereka bersikap kesatria. Kekalahan harusnya direpons dengan bentuk tanggungjawab bukan aksi saling elak. Jika memang punya jiwa kesatria untuk meletakkan jabatan, silahkan.
***
Rasanya, keputusan meletakkan jabatan ataupun mempersiapkan program timnas di Piala AFF November 2012 akan jauh lebih elok dibandingkan sibuk bersuara di media mengecam kepemimpinan wasit.
Di pihak lain, kritik keras juga pantas ditujukan ke KPSI yang mempolitisir hasil tim nasional Indonesia. Kalaupun niat luhur mereka adalah kemauan memperjuangkan soal status pemain dan liga LSI yang dianggap PSSI illegal, akan lebih kontruktif bagi mereka untuk berjuang di FIFA dan CAS.
Tuntutan KLB pun akan lebih baik disalurkan lewat mekanisme hukum tersebut, ketimbang aksi memancing di air keruh. Jika merasa benar soal tuntutan KLB, mengapa KPSI tidak mengikuti langkah Persipura ke CAS ataupun menggunakan jalur FIFA? Besar atau tidak, manuver KPSI juga telah berkontribusi melebarkan konflik sepak bola Indonesia yang berimbas pada penurunan kualitas tim nasional.
Namun terlepas dari semua pilihan itu, alangkah baik bagi PSSI dan KPSI untuk bersatu mencari sebuah solusi bersama bagi sepak bola Indonesia. Masalah dualiseme liga, konflik, yang akhirnya bermuara pada prestasi timnas, tidak akan selesai dengan aksi saling menjatuhkan. Siapapun nantinya yang kalah dalam perebutan kursi PSSI, pastinya akan tetap merongrong organisasi, jika pendekatan politik yang jadi panglima.
Karena itu, kakalahan atas Bahrain harus jadi momentum bagi semua insan sepak bola agar bersatu. Persatuan sepak bola nasional jadi akhirnya sangat krusial demi mencegah munculnya iklan baru minuman berenergi yang bernarasi “Kapan sepak bola Indonesia juara di Asia Tenggara?"