Kamis 08 Mar 2012 15:20 WIB

Pecundang dan Pemenang, PSSI atau KPSI?

Suasana pembukaan Pra Kongres PSSI-KPSI 2012 di Jakarta pada Sabtu malam (21/1).
Foto: Antara/Andika Wahyu
Suasana pembukaan Pra Kongres PSSI-KPSI 2012 di Jakarta pada Sabtu malam (21/1).

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Abdullah Sammy

Losers live in the past. Winners learn from the past and enjoy working in the present toward the future.” (Pecundang hidup di masa lalu. Pemenang belajar dari masa lalu dan menikmati pekerjaan masa kini untuk menatap masa depan).

Kalimat di atas hanyalah sebuah untaian motivasi yang disampaikan oleh motivator terkenal Amerika Serikat, Denis Waitley. Waitley sadar, masyarakat Amerika harus dibangkitkan agar tidak terus terjebak konflik masa lalu.

Menurut data dari pusat penanganan penyakit di Amerika (CDC), satu di antara 20 warga masyarakat AS terkena depresi yang diakibatkan kegagalan berdamai dengan konflik masa lalunya. Mereka yang tersandera pada konflik masa lalu, pada akhirnya tidak bisa bekerja baik di masa kini, apalagi berharap kegemilangan di masa mendatang. 

Akibatnya bisa diukur, salah satunya, dengan penurunan tingkat perekonomian Amerika yang pada kuartal pertama tahun 2009 menyentuh titik terburuk sejak 1958. Ketidakmampuan pribadi atau perusahaan menyelesaikan kewajiban hutang di masa lalu (kredit) pada akhirnya menghambat ekonomi negara adidaya itu.

Merujuk negara “super power” macam Amerika yang ekonominya bisa luluh lantak akibat kegagalan berdamai dengan masa lalu, dunia sepak bola Indonesia sepatutnya wajib ekstra-waspada. Beraneka ragam konflik masa lalu yang hingga kini belum terselesaikan, dapat menjadi bom waktu yang dapat menghancurkan sepak bola nasional.

                                                                     

                                                                           ***

Adalah konflik PSSI, dualisme liga, dan krisis prestasi menjadi warisan masalah yang telah lalu, tapi terus menjangkiti sepak bola Indonesia. Memang jangka waktu konflik itu masih dalam hitungan tahun, namun itu pun belum mampu terselesaikan secara menyeluruh.

Sebaliknya, dendam lama antara kubu pendukung Liga Primer Indonesia (LPI) dan Liga Super Indonesia (LSI) terus menjadi dan mengerucut pada perseteruan PSSI dan Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI). KPSI yang mendapat dukungan dari mayoritas pengurus lama sepak bola Indonesia seperti Andi Darussalam, Djoko Driyono, Hinca Panjaitan, dan Gusti Randa kini mencoba "mengkudeta" kursi PSSI.

KPSI berpatokan pada klaim dilanggarnya hasil Kongres Bali yang menetapkan PT Liga Indonesia dan Liga Super Indonesia sebagai pengelola dan kompetisi utama di negeri ini.

Di pihak lain, PSSI yang bersikukuh menetapkan Liga Prima Indonesia dan PT LPIS sebagai kompetisi dan pengelola liga sepak bola Indonesia, mengaku tidak ada hasil kongres Bali yang dilanggar. Inilah titik utama perbedaan yang menyebabkan konflik besar sepak bola di Indonesia.

                                                                           

                                                                           ***

Siapa yang bisa membuktikan kebenaran pernyataan KPSI maupun PSSI? Yang jelas pembuktian sengketa sebuah kasus olahraga tidak bisa dengan asal mempercayai omongan seorang Toni Aprilani (Ketua KPSI) ataupun Djohar Arifin Husin (PSSI).

Hanya pengadilan arbitrase olahragalah yang bisa membuktikan benar atau tidaknya sebuah kasus yang menyangkut kegiatan olehraga. Sejatinya siapa yang berbohong, apakah PSSI atau KPSI, bisa dibuktikan secara hukum di pengadilan arbitrase.

Namun jalan untuk menyelesaikan sengketa lewat cara yang benar justru urung diambil kedua pihak. Padahal di pihak lain, Persipura Jayapura sudah membuktikan bahwa pengadilan olahraga dunia, CAS, mampu memberikan solusi kebenaran—walau pada akhirnya Persipura yang menuntut PSSI dan AFC menarik gugatannya.

Sayangnya, KPSI selaku pihak yang paling ngotot menuntut keadilan justru mengambil jalan penyelesaian dari segi politik. Mereka dengan lantang meneriakkan Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI sebagai jalan penyelesaian konflik olahraga. Mereka beralasan tuntutannya-lah yang paling benar sehingga PSSI dan LPI harus segera gulung tikar.

Padahal, catatan sejarah membuktikan, jalan politik yang diambil insane sepak bola nasional di Solo pada Juli 2011, tidak mampu menyelesaikan polemik, malah justru mengipaskan bara konflik. Andai saja saat itu status LPI digiring ke pengadilan olehraga, pastinya ada solusi hukum mengikat sehingga dapat mencegah terjadinya dualisme kompetisi kini.                                                    

                                                                           ***

Pada akhirnya sejarah konflik ini telah terjadi yang mengakibatkan sejarah buruk pula bagi tim nasional senior Indonesia yang kalah 0-10 atas Bahrain. Mengutip pernyataan  Presiden ke -16 Amerika Serikat, Abraham Lincoln; “We cannot escape history (kita tidak bisa meninggalkan sejarah). Kita pun tidak bisa mengelakkan sejarah kelam konflik organisasi yang berujung pada krisis prestasi.

Namun yang diungkapkan Lincoln bukanlah pembenaran bagi sepak bola nasional untuk terus hidup dalam konflik masa lalu. Sebaliknya konflik bisa menjadi kaca spoin bagi PSSI dan KPSI untuk mempelajari kondisi yang telah lalu, untuk melaju maju ke masa depan. Sangat relevan bagi semua pihak untuk segera menghentikan segala bara konflik demi sebuah peningkatan prestasi.

Apapaun caranya, entah rekonsiliasi atau menempuh jalur di pengadilan olahraga, akan jauh lebih baik ketimbang terus menerus saling kudeta kursi kuasa. Karena seribu kali KLB tetap sia-sia selama dendam PSSI dan KPSI terus tercipta.

Kini saatnya para pengurus sepak bola Indonesia melepaskan statusnya sebagai pecundang masa lalu untuk menjadi pemenang sekarang dan di masa datang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement