REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Abdullah Sammy
Tepat pada 11 Maret lalu, Jepang memperingati setahun tragedi tsunami yang meluluh-lantakkan negara itu. Lebih dari 15 ribu orang tewas, sedangkan hampir sembilan ribu jiwa lain hingga kini belum ditemukan akibat terjangan tsunami dahsyat.
Lara jelas dirasakan seluruh penduduk Negeri Sakura mengenang tragedi yang diawali gempa mega-dahsyat berkekuatan 9,0 pada Skala Richter tersebut. Namun warga Jepang sadar, terus terpuruk dalam kesedihan merupakan sebuah tragedi baru — yang boleh jadi lebih besar skala bencananya dibanding tsunami itu sendiri.
Bencana tsunami justru menjadi motivasi bagi putra-putri bangsa Jepang untuk meraih kesuksesan di segala bidang yang ditekuni. “Kita (Jepang) berada di negara yang alamnya sulit. Tanpa berusaha keras, kalian akan terlilit dalam kesulitan itu!,” begitu kira-kira semangat yang kerap diwarisi orang tua kepada anak di Jepang untuk bangkit. Situasi tentunya berbading terbalik dengan kultur penanaman budaya ke anak Indonesia yang terkenal dalam kalimat, "Negeri kita negeri kaya. Tongkat, batu, dan kayu bisa jadi tanaman,"
Dengan warisan mental Bushido atau jalan hidup samurai yang berisikan delapan ajaran—bekerja keras, jujur, taat pada pimpinan, tidak individualis, tidak egois, bertanggung jawab, bersih hati, serta harus tahu malu—tsunami sekuat apapun tidak akan menghentikan Jepang untuk melangkah maju menuju kesuksesan.
Tidak heran maka banyak pengamat dunia memprediksi ekonomi Jepang akan kembali melesat, justru setelah terjangan tsunami. Mengutip artikel Bill Conerlly di Forbes, tahun 2012 diprediksi sebagai awal kembali kebangkitan ekonomi Jepang yang sempat tergerus 0,9 persen di tahun 2011. Setahun setelah tsunami, ekonomi Jepang diprediksi akan kembali meningkat hingga kisaran 1-2 persen!
***
Catatan di atas bisa menjadi sentilan bagi dunia sepak bola Indonesia yang juga baru diterjang “tsunami” dahsyat pasca-kekalahan memalukan 0-10 timnas Indonesia atas Bahrain, serta takluk dari negara terlemah ketujuh sepak bola, Brunei Darussalam, di final turnamen Hassanal Bolkiah 2012.
Meratap, mengumpat, dan berkonflik, tentunya bukan jalan yang efektif untuk bangkit dari tsunami sepak bola Indonesia. Pun halnya dengan kata pembelaan—“Kita kalah karena wasit, kalah karena bermain 10 orang, kalah karena persiapan mepet!”—yang justru lebih menggambarkan tsunami sepak bola telah menerjang mental para pejabat sepak bola nasional Indonesia.
Kalah adalah kalah, tidak bisa terbantah. Itulah yang harus dijadikan acuan baik oleh pemain, pelatih, dan pengurus. Kini sudah bukan saatnya sepak bola Indonesia terus menerus meratapi hasil memalukan.
Seperti Jepang menjadikan bencana sebagai momentum kebangkitan, pun halnya Indonesia yang selayaknya menjadikan tsunami sepak bola untuk introspeksi. Ingat negeri ini sudah 20 tahun tidak berprestasi!
Sebuah kenyataan yang hendak direspons secara bijak oleh PSSI dan Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI) yang kini berseteru. Karena mereka berdualah yang bertanggungjawab atas bencana tsunami sepak bola Indonesia.
PSSI tidak lagi bisa membela diri karena memang pada masa-nyalah kini tercipta sejarah kekalahan terburuk timnas Indonesia. Di pihak lain, KPSI yang dihuni para pengurus sepak bola lama pusat dan daerah, merupakan aktor dibalik krisis puluhan tahun prestasi Indonesia. Jadi bila ada oknum KPSI yang mencibir hasil yang dipetik PSSI, mereka sudah seharusnya berkaca diri.
Yang diperlukan sepak bola Indonesia untuk bangkit dari bencana bukanlah ancaman pembekuan atau KLB, melainkan inovasi untuk meningkatkan prestasi. Jika sepak bola Indonesia terus melakukan pemecatan, pergantian, dan saling menyalahkan pada setiap kegagagalan, niscaya hasil yang dipetik tidak akan jauh berbeda dibanding kepengurusan PSSI yang telah lalu.
***
Layaknya rakyat Jepang yang justru berinovasi membuat rumah bola anti tsunami sebagai respon mereka mengantisipasi bencana, sepak bola Indonesia pun harusnya berpikir kreatif untuk keluar dari tsunami sepak bola.
Perbaikan fasilitas, kualitas wasit, serta perbaikan kompetisi, akan jauh lebih penting dibanding menghamburkan miliaran rupiah untuk menggelar Kongres demi Kongres PSSI. Kini terpulang kembali kepada PSSI dan KPSI apakah akan terus mempertahankan egonya atau mulai berpikir demi kepentingan bangsa.
Mengutip perkataan filsuf terbesar Tiongkok, Konfusius; “Our greatest glory is not in never falling, but in rising every time we fall”. (Kejayaan terbesar kami bukan tidak pernah terjatuh, namun bangkit di setiap kami terjatuh). @Abdullah_Sammy