Kamis 15 Mar 2012 11:35 WIB

Gantung “Poolitikus Sepak Bola” di Monas

Ribuan pendukung tim Garuda Muda dari berbagai komunitas suporter tanah air yang memadati stadion GBK, jakarta, Minggu, (13/11). (Republika Online/Fafa)
Ribuan pendukung tim Garuda Muda dari berbagai komunitas suporter tanah air yang memadati stadion GBK, jakarta, Minggu, (13/11). (Republika Online/Fafa)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Abdullah Sammy/Wartawan Olahraga Republika

''In Mexico an air conditioner is called a politician because it makes a lot of noise but doesn't work.'' (Di Meksiko, pendingin udara (ac) disebut politisi karena menghasilkan kegaduhan tetapi tidak berfungsi) *Len Deighton 1929*

Entah apa lagi hajat hidup di negeri ini yang tidak disentuh kalangan politik. Mulai dari persoalan sosial, ekonomi, hukum, dan agama sudah terjamah arus politisasi. Satu-satunya hiburan rakyat Indonesia, sepak bola, juga dijarah oleh kalangan poolitisi lapangan hijau.

Alih-alih menghasilkan prestasi, para poolitisi ini justru membuat sepak bola Indonesia tersudut oleh kegaduhan.  Masyarakat yang jadi penonton pun akhirnya jadi korban. Bukannya disajikan pertarungan berkelas di lapangan, rakyat justru dibuat muak oleh pengurus sepak bola yang beradu sakti.

Lengkap sudahlah penderitaan masyarakat. Setelah kerap 'ditipu' setiap lima tahun sekali, kali ini para politisi kembali beraksi menjanjikan angin surga di sepak bola nasional. Para poolitisi berjanji, jika kelompoknya mampu bertahan atau menggulingkan PSSI, maka segudang jani akan teralisasi.

Janji bahwa kongres luar biasa KPSI akan perbaikan prestasi, ataupun Kongres PSSI akan menuju rekonsiliasi, adalah omong kosong. Bagaimana mau berprestasi, jika KPSI dihuni oleh pengurus yang kenyang kegagalan selama puluhan tahun. Di pihak lain, rekonsiliasi jadi sumir mengingat PSSI terus menerus menjatuhkan sanksi, bukan solusi

Kini kenyataan dua kongres yang sudah di depan mata membuktikan sepak bola Indonesia terpecah dalam dua kepentingan. Di satu sisi ada PSSI yang sekuat tenaga mempertahankan kursi kuasa. Di pihak lain, KPSI ngotot merancang aksi kudeta.

                                                                         ***

Manuver KPSI dan PSSI ini pun makin mengukuhkan bahwa keduanya memenang sebuah prinsip kerja politik yakni; "Politics is the art of looking for trouble, finding it whether it exists or not, diagnosing it incorrectly, and applying the wrong remedy."  (Politik adalah seni mencari sebuah masalah, menemukannya secara benar atau salah, mendiagnosisnya secara keliru, dan memberikan resep obat yang salah) *Earnest Benn*

Walhasil, publik sepak bola tinggal menunggu godot reaksi Federasi sepak bola dunia FIFA. Ancaman sanksi pun mengemuka bagi persepakbolaan Indonesia.

Jika kemungkinan terburuk sanksi FIFA menimpa Indonesia, bisa jadi ada berkah yang terbunyi bagi dunia sepak bola. Inilah saatnya bagi pemerintah untuk membersihkan sepak bola nasional dari tangan orang yang tidak bertanggungjawab. Singkirkan para loyalis politik sepak bola yang sudah terjerat dalam pusaran kepentingan pengusaha A atau Si B.

Karena sepak boka bukan hanya milik si pengusaha, pengurus, apalagi poolitisi sepak bola, namun seluruh masyarakat Indonesia. Pemerintah juga sehendaknya bisa mengambil ancang-ancang untuk mengaudit seluruh transaksi keuangan baik di PSSI dan pengelola kompetisi. Inilah kesempatan untuk membumi hanguskan parasit di sepak bola Indonesia via jalur hukum.

Pada akhirnya, kita tentu berharap, tidak ada sanksi FIFA bagi persepakbolaaan Indonesia. Tentunya 240 juta rakyat Indonesia tidak akan rela jika ulah para politisi sepak bola pada akhirnya harus mengorbankan seluruh bangsa Indonesia.

Masyarakat akan lebih senang jika para politisi sepak bola yang terbukti mengotori lapangan sepak bola "diseret" untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Kalau perlu para politisi sepak bola itu mengikuti ucapan seorang politisi sungguhan yang rela digantung di Monas.

Twitter: @Abdullah_Sammy

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement