Rabu 21 Mar 2012 12:24 WIB

Kongres PSSI Vs Pembinaan Usia Muda

Seleksi Timnas U-12 beberapa waktu lalu
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Seleksi Timnas U-12 beberapa waktu lalu

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Abdullah Sammy

Minggu-minggu ini, hampir seluruh perhatian publik sepak bola nasional tersedot pada aksi para pengurus sepak bola yang saling beradu jago di arena Kongres. Ada Kongres Luar Biasa yang digagas Komite Penyelamat Sepak Bola (KPSI) di Ancol.  Sedangkan di tengah daratan Borneo, PSSI melakukan kongres tahunan yang dihadiri oleh sejumlah perwakilan daerah dan klub.

Dua Kongres ini pun menambah padatnya agenda kegiatan politik organisasi yang menghabiskan pundi-pundi rupiah. Acara yang kerap disebut pengurus sebagai pencanangan program kerja sepak bola Indonesia kedepan.

Banyaknya agenda acara dan uang yang dihamburkan kongres sepak bola, belum berbanding lurus dengan prestasi anak bangsa di lapangan hijau. Sejak keberhasilan di Sea Games tahun 1991, sepak bola nasional belum lagi pernah meraih podium tertinggi di kejuaraan sepak bola.

Jika di arena Kongres Luar Biasa, publik menyaksikan bagaimana seorang La Nyalla Matalitti mengangkat tangan pertanda kemenangan, maka di lapangan sepak bola masyarakat sudah kenyang menyaksikan pemain Indonesia tertunduk lesu di podium kekalahan.

Lihat saja Tius Bonai cs yang harus menatap para pemain Jiran mengibarkan bendera Malaysia di tengah rumput Gelora Bung Karno di ajang Sea Games. Ataupun Andik Vermansyah yang harus rela menyaksikan pesta rakyat Brunei di Stadion Hassanal Bolkiah. Karena itu wajar jika persoalan krisis prestasi tim nasional memiliki bobot persoalan yang jauh lebih serius dibanding agenda “Kongres-Kongres-an”.

Ibarat benang kusut, banyak hal yang masalah yang harus diurai demi mengangkat prestasi sepak bola. Salah satunya, adalah pembinaan usia muda. Berbeda dengan kompetisi profesional, pembinaan usia muda relatif lebih tidak terjamah tarik menarik polemik pengurus PSSI.

Bila sekotor politik ditenggarai tidak bersinggungan langsung dengan pembinaan usia muda, maka untuk urusan fasilitas sepak bola tidak ada yang bisa mengelak bahwa Indonesia memiliki kendala besar.

Sebagai contoh di ibu kota Jakarta, ketersediaan lapangan sepak bola bisa dihitung dengan jari. Walau Undang-Undang nomor 26 tahun 2007 telah mengamanatkan penyediaan 30 persen ruang terbuka bagi lingkungan dan kegiatan masyarakat, namun kenyataannya aturan itu masih sebatas angan angan belaka.

Data  Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah DKI, ruang terbuka di Jakarta mencapai kurang dari 6500 hektar dari total 65 ribu hektar luas Jakarta. Angka ruang terbuka yang masih batas minimum itu pun masih harus dibagi ke sejumlah sektor,tidak hanya untuk lapangan sepak bola.

Kalapun ada lapangan yang tersisa, itupun umumnya dalam kondisi nahas. Seperti kondisi lapangan sepak bola di kawasan Blok S, Jakarta Selatan. Rumput tidak rata, tanah berlubang, dan sanitasi yang memprihatinkan, adalah cermin bagaimana bakat anak di Indonesia tidak bisa tersalur dengan fasilitas yang maksimal.

“Karena itu kita berencana membangun sebuah sentra pembinaan yang terpusat dengan fasilitas yang memadai di Purwakarta nanti. Fasilitas juga ditunjang asrama bagi pemain usia muda,” kata Ketua Komite Timnas PSSI, Bob Hippy.

Hal lain yang diakui sebagai kendala melecut prestasi sepak bola Indonesia adalah keterbatasan tenaga pelatih. Di Indonesia yang penduduknya lebih dari 240 juta, hanya ada ribuan saja manusia yang tersedia untuk mengasah bakat sepak bola.

“Karena itu, program pertama kini adalah mencetak banyak pelatih di tiap daerah. Dengan adanya pelatih, dia bisa memberi pembinaan bagi pemain usia muda baik dalam hal teknis ataupun mental,” terang Bob.

Menurut Bob, pihaknya sudah menghasilkan 300 pelatih baru lewat program pencetakan pemandu sepak bola di seluruh nusantara. Para pelatih inipun diharap menyegarkan program pembinaan sepak bola Indonesia yang mulai usang.

Jika selama ini para pemain muda dipersiapkan untuk bermain dalam satu posisi, kini PSSI meminta agar pemain diberi program pelatihan untuk segala posisi. Pemain muda yang sejatinya berposisi sebagi bek contohnya dituntut untuk bisa bermain sebagai gelandang atau bahkan penyerang. “Di era sepak bola modern, sudah tidak ada lagi pemain tradisional yang hanya bisa bermain di satu posisi. Mereka harus serba bisa.”

Hal terpenting soal pembinaan usia muda, lanjut Bob, adalah penanaman karakter dan penidikan bagi pemain. Kedepan, syarat promosi seorang pesepakbola muda harus ditunjang dengan baiknya kemampuan akademis. Sebagai contoh, pemain muda harus mendapatkan nilai matematika di atas enam untuk bisa terus berpromosi ke jenjang yang lebih tinggi. “lewat pola pembinaan itu, kita harapkan sepak bola Indonesia bisa memetik hasilnya pada beberapa tahun mendatang,”

Dengan program pembinaan yang mensinergikan fasilitas memadai, pendidikan karakter, dan visi kedepan, kebangkitan bisa diraih sepak bola Indonesia. Kebangkitan yang bisa diraih dengan pembinaan panjang usia muda, bukan dari adu jago pengurus di Kongres luar biasa.

“Seorang juara tidak menjadi juara saat dia memenangi sebuah event, tapi dengan jam, hari, dan minggu yang telah dihabiskan untuk meraih hasil,” (Alan Amstrong)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement