REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Abdullah Sammy/Wartawan Olahraga Republika
"Tidak seorang pun yang menghitung-hitung, berapa untung yang kudapat nanti dari Republik ini, jikalau aku berjuang dan berkorban untuk mempertahankannya." Begitulah penggalan pidato Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno dalam perayaan kemerdekaan Indonesia tahun 1956.
Bung Karno sadar, sebagai seorang warga negara sudah sepantasnya pengorbanan jiwa dan raga dilakukan anak bangsa. Pengorbanan Soekarno tidak mengenal "kata tapi", seperti yang dia ucapkan dalam pidatonya yang legendaris; "Aku sangat mencintai keluargaku, Aku juga sangat mencintai rakyatku, Tapi seandainya aku harus memilih salah satu di antara kedua itu, maka aku akan memilih rakyatku,"
Itulah jiwa seorang pahwalan yang bersedia mengorbankan harta, jiwa, dan raga, hanya demi kehormatan Merah Putih.
Kata-kata Soekarno di atas telah berlalu menjadi sebuah catatan sejarah bangsa. Sebuah sejarah yang hingga kini masih sulit ditapaki anak bangsa, terutama di lapangan sepak bola.
Kata nasionalisme kini jadi ujian bagi segenap insan sepak bola yang terbelah dalam konflik organisasi PSSI. Konflik yang akhirnya mengoyak seragam kebangsaan Merah Putih di lapangan hijau.
Contoh nyata yang kini terbentang di hadapan mata adalah soal seleksi tim nasional yang tidak dihadiri oleh pemain asal klub LSI dan beberapa klub LPI. Yang ironis, absennya pemain didorong oleh dua faktor; izin dari klub dan pilihan politik.
Sebuah contoh nyata adalah seorang pemuda berusia 19 tahun bernama Samsir Alam. Bagi Samsir, urusan nasionalisme bukan lagi pertanyaan. Itu sudah menjadi jawaban atas profesinya sebagai pemain sepak bola yang ingin mengharumkan nama Indonesia.
Tidak heran, begitu PSSI melayangkan panggilan memperkuat tim nasional, Samsir langsung menjawanbnya secara lugas. Dia tidak peduli bahwa ada riak dualisme organisasi yang membumbui panggilan timnas. "Saya tidak pernah berfikir konflik apa yg terjadi di tubuh federasi. Itu urusan mereka. Membela Indonesia adalah kebanggan yang tak ternilai harganya. Buat timnas, saya akan selalu datang." ujar Samsir.
Namun sayangnya keinginan pemain yang sempat menimba ilmu sepak bola di Uruguay itu harus terbentur oleh kebijakan klubnya CS Vise di Belgia. Klub itu tidak memberinya izin mengenakan seragam Merah Putih di turnamen antar-negara Al Nakba di Palestina.
Samsir pun langsung mencurahkan perasaan terkait tudingan miring sejumlah pihak yang menyebutnya tidak nasionalis. "Jangan pernah bilang gw ngga" nasionalis.kalian ngga tau yang sebenarnya terjadi. so,stop judge people!," begitu curahan hati Samsir via akun twitternya.
Apakah salah jika klub-klub enggan melepas pemainnya akibat lebih percaya PSSI versi La Nyalla Matalitti ketimbang PSSI Djohar Arifin?
Sebuah pertanyaan yang bisa dikembalikan pada klub soal legalitas PSSI La Nyalla di mata FIFA. Tanpa adanya pengakuan FIFA, sampai lebaran kodok pun timnas yang dibentuk PSSI versi KPSI itu tidak akan dianggap dunia, alias abal-abal. Hingga detik ini, FIFA masih mengakui timnas di bawah ketua PSSI Djohar Arifin Husin sebagai wakil Indonesia yang sah di mata dunia
Tapi bukankah turnamen di Palestina bukan ajang resmi FIFA hingga klub sah saja enggan melepas pemainnya?
Sekalipun turnamen yang akan diikuti timnas di Palestina bukan agenda FIFA, namun tetap saja kehormatan Indonesia yang dibawa. Apapun hasilnya di kejuaraan yang diikuti Irak, Palestina, Uzbekistan, Tunisia, dan negara Timur Tengah itu, nama Merah Putih yang jadi taruhan.
Menang, maka harumlah nama Indonesia di mata negara lain di dunia. Sebaliknya, kalah berarti cela bagi seluruh bangsa, tidak peduli PSSI Djohar ataupun La Nyalla.
Jelaslah sudah, perpecahan PSSI mengakibatkan efek yang teramat luar biasa. Efek dari perpecahan PSSI bahkan bisa membuat seseorang berbicara nasionalisme dengan kata tapi; "Tapi kan ada timnas lain di PSSI La Nyala".... "Tapi kan PSSI dahulu yang tidak ingin memakai pemain ISL,"... Itulah tapi-tapi yang jadi alasan pihak tertentu mengikis arti Merah Putih.
Sebuah kondisi kekinian soal nasionalisme itu sejatinya pernah terpikir oleh Soekarno akan menjangkiti putra putri bangsa; "Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri," ungkap Soekarno dalam salah satu pidatonya.