Selasa 24 Apr 2012 13:26 WIB

"Profesionalisme" Ala PSSI Djohar Arifin

Ketua Umum PSSI, Djohar Arifin Husin (tengah), dan Wakil Ketua Umum PSSI, Farid Rahman, beserta anggota komite eksekutif lainnya menggelar Kongres Tahunan 2012 di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Ahad (18/3).
Foto: Antara/Arif Ariadi
Ketua Umum PSSI, Djohar Arifin Husin (tengah), dan Wakil Ketua Umum PSSI, Farid Rahman, beserta anggota komite eksekutif lainnya menggelar Kongres Tahunan 2012 di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Ahad (18/3).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Abdullah Sammy/Wartawan Olahraga Republika

Beberapa pekan setelah terpilih sebagai Ketua PSSI, Profesor Djohar Arifin Husin pernah mengungkapkan sebuah gagasan baru menyangkut komposisi kepengurusan sepak bola nasional. Djohar dengan lugas kepada wartawan mengungkapkan akan membentuk organisasi yang profesional yang diisi oleh ahli di bidangnya. Dia berjanji akan membuat struktur kepengurusan yang ramping demi efektifitas roda organisasi.

“Kita juga akan menunjuk konsultan asing untuk membantu kita merumuskan struktur kepengurusan. Jadi nanti aka nada proses fit and proper test bagi setiap pengurus agar standar profesionalisme terjaga,” itulah  janji yang sempat diucapkan Djohar di awal masa kepemimpinannya sebagai Ketua Umum PSSI.

Namun rangkaian kata sang profesor pada akhirnya belum terbukti kenyataannya. Pengurus PSSI malah dihuni oleh ratusan manusia, minus proses seleksi ketat yang profesional. Struktur kepengurusan PSSI Djohar Arifin pun lebih diwarnai kesan bagi-bagi jatah Kelompok 78 (kelompok pemilik suara pendukung mantan calon ketum PSSI, Arifin Panigoro dan George Toisutta) maupun mantan pemain.

Terlepas adanya muka baru yang terbilang profesional, namun jumlahnya masih kalah jauh bila dibandingkan kroni-kroni K-78. Sebaliknya, kepengurusan PSSI Djohar tidak ubahnya dengan struktur PSSI di masa Nurdin Halid yang masih diisi oleh staf administrasi yang sama.

Tidak hanya itu, PSSI Djohar menjilat ludahnya soal komposisi sepak bola yang terbebas dari "bau" politik. Yang paling anyar, PSSI justru menunjuk anggota DPR dari Partai Demokrat, Ramadhan Pohan sebagai manajer untuk timnas senior Indonesia.

Pohan ditunjuk untuk menggantikan posisi Fery Kodrat yang kini bergeser menjadi Direktur Operasional tim. "Mulai hari ini Ramadhan Pohan resmi menjadi manager timnas senior. Beliau langsung akan membuat program-program timnas,” ujar penanggungjawab timnas, Bernhard Limbong dalam keterangan pers di Jakarta, kemarin.

Pohan sejatinya memang sering terlihat di sejumlah acara PSSI. Bahkan dia terlihat hadir di kediaman Arifin Panigoro saat acara syukuran timnas Sea Games beberapa waktu lalu.

Sebuah pertanyaan besar kini dialamatkan pada PSSI. Bagaimana mungkin pos tugas vital yang membutuhkan waktu dan tenaga besar, diserahkan kepada seorang politisi di DPR. Yang jadi pertanyaan lain, apakah pengalaman seorang Ramadhan Pohan sehingga dia bisa begitu saja melenggang sebagai seorang manajer timnas?

Hal yang coba dijawab Limbong dengan mengatakan bahwa sang politisi memiliki pengalaman sebagai seorang pemilik klub di kota Pacitan, Jawa Timur. Klub yang hingga kini belum diketahui wujud dan bentuk prestasinya.

Tidak hanya Pohan, nama politisi PKS, Raihan ditunjuk sebagai deputi manajer timnas. Pohan sendiri mengaku sempat berpikir ketika ditunjuk sebagai manajer timnas. "Saya sempat berpikir apakah ini sudah bisa saya lakukan. Setelah saya pikirkan lebih dalam, maka saya katakan bahwa ini adalah bagian tanggungjawab kecintaan terhadap sepakbola,” ungkap anggota Komisi I DPR RI tersebut.

Tidak pelak bau politisi makin semerbak menjangkiti sepak bola Indonesia. Kini kata profesionalisme yang sempat diucapkan Djohar makin terbantahkan bila merujuk komposisi pengurus yang diisi orang yang bukan dibidangnya. Ada seorang politisi mengurusi detail administrasi timnas, maupun sebuah lembaga komunikasi yang lebih bergerak di bidang politik kini ditunjuk sebagai mulut PSSI, jadi cermin profesionalisme PSSI Djohar Arifin.

Kondisi di PSSI ini berbanding terbalik dengan organisasi sepak bola modern seperti FA di Inggris. Bahkan di FA tidak ada istilah untuk “bagi-bagi” kerjaan untuk mantan pesepakbola maupun politisi Inggris.

Sebaliknya komposisi inti FA diisi seluruhnya oleh professional. Seperti  Presiden FA, David Bernstein yang dikenal sebagai profesional di bidang bisnis. Tidak hanya itu, pria Yahudi ini terlebih dahulu meniti karier di dunia sepak bola bersama Manchester City. Barulah kesuksesan di klub Manchester itu mengantarkannya ke kursi federasi.

Pun halnya Direktur FA, Heather Rabbatts yang dikenal sebagai ahli hukum dan sepak bola. Nama pria kelahiran Jamaika ini sudah teruji bersama klub Millwall. Kesuksesan yang jadi tiket baginya untuk menjadi pengurus sepak bola Inggris.

Sedang di Indonesia, tiket menjadi pengurus bisa diperoleh lewat jalur berbeda. Politisi yang masih asing di telinga dunia sepak bola nasional pun, bisa dalam menduduki posisi vital timnas dan organisasi hanya dalam hitungan hari.

Hasil dari kebijakan dua organisasi pun tergambar jelas di lapangan; FA mampu menjalankan organisasinya secara profesional, sebaliknya PSSI terus terjerembab dalam keterpurukan konflik organisasi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement