Ahad 29 Apr 2012 03:30 WIB

Catatan Sepakbola: Klub di Spanyol antara Politik dan Ekonomi

Logo Real Madrid (ilustrasi).
Foto: Blogspot.com
Logo Real Madrid (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Teguh Setiawan (wartawan Republika)

Tanyakan kepada orang Spanyol, siapa berani membangkrutkan klub? Anda akan mendapatkan jawaban sama: tidak ada yang berani. Saat ini enam dari 20 klub, Rayo Vallecano, Racing Santander, Real Betis, Zaragoza, Granada, dan Mallorca, mendatangi pengadilan dan meminta di bangkrutkan. Enam klub di Segunda Division atau Divisi II juga melakukannya. Namun, keenamnya tetap saja berlaga di La Liga. Bahkan, keenamnya menggunakan undang-undang kebangkrutan untuk melindungi diri dan menikmati legal protection dari krediturnya seraya terus bermain sepak bola.

Coba bayangkan sejenak jika peme rintah mengambil langkah berani dengan meminta pengadilan membangkrutkan klub-klub itu. Berapa ratus jadwal sisa musim yang melibatkan klub-klub itu yang harus dicoret. La Liga mungkin akan terhenti.

Penghapusan jadwal akan berdampak sangat serius. Sejumlah televisi yang telah membeli hak siar akan menuntut peme rintah membayar kompensasi. Fans yang memegang tiket untuk satu musim juga akan menuntut klub mengembalikan uang mereka.

Di sisi lain, legal protection menyebabkan kreditur tidak bisa menagih pi utangnya kepada klub. Pihak klub yang merasa terlindungi terus berupaya mengeruk uang tanpa merasa terganggu debt collector.

Politik sepak bola

Hampir setiap tahun sepak bola Spanyol bermasalah. Pada 2010, Mallorca mengalami krisis finansial yang mem buat nya tidak boleh berlaga di Liga Eropa. Villarreal yang mengakhiri musim satu tingkat di bawah menggantikan the Islander bermain di Eropa.

Lebih ke belakang lagi, pada 1990-an, Liga Nacional de Fútbol Profesional (LPF)—otoritas liga sepak bola Spanyol— mengancam akan mendegradasikan Celta Vigo dan Sevilla. Kedua klub dianggap lalai mengajukan kertas kerja berupa laporan keuangan klub dan dokumen lainnya sampai batas waktu ditentukan.

Kedua klub memang mengalami masalah keuangan dan kesulitan mengajukan laporan keuangan kepada otoritas. Namun, tidak ada sanksi degradasi untuk keduanya karena fans turun ke jalan dan menekan LPF untuk tidak menjatuhkan sanksi kepada klub kesayangan mereka.

LPF tidak bisa berbuat apa-apa. Kasus Celta Vigo dan Sevilla seakan menegaskan asumsi tidak boleh ada sanksi degradasi atau administrasi terhadap klub jika tidak ingin terjadi kerusuhan di jalan-jalan. Degradasi hanya boleh terjadi jika klub gagal berkompetisi selama satu musim.

Lebih jauh ke belakang lagi, pada masa lalu terdapat asumsi menghukum klub—salah satunya dengan cara mendegradasikan—akibat berakibat buruk bagi pemerintah. Fans klub akan selalu menimpakan kesalahan kepada politik pemerintah. Sebagai akibatnya, pada pemilu berikut, partai yang berkuasa tidak mendapat dukungan dari fans klub yang terkena hukuman.

Asumsi inilah yang menyebabkan sepak bola Spanyol tidak mengenal sanksi pengurangan poin bagi klub-klub yang mengalami kesulitan keuangan seperti yang terjadi di Inggris. Tidak pernah ada klub yang dibangkrutkan pengadilan akibat tidak mampu lagi membayar utang-utangnya.

Pendek kata, tidak ada kekuatan yang berani menghukum klub penunggak pajak, pengemplang utang, atau gagal bayar gaji pemain. Tidak ada politikus yang berani mengubah keadaan ini atau setidaknya mengungkap isu dan memulai perdebatan publik.

Namun, terjadi perubahan situasi dalam beberapa hari terakhir. Caridad Garcia, politikus dari Partai Izquierda Unida (IU), mendesak pemerintah meng ungkap nama-nama klub penunggak pajak. Partido Popular, partai yang berkuasa saat ini, mendukung gagasan itu dengan menyebutnya sebagai tindakan tak bisa ditoleransi.

Jose Luis Cantella, juru bicara IU, mengatakan, “Ini berita buruk bagi semua orang yang telah kehilangan rumah dan menderita pemotongan tunjangan sosial.” Ia juga mengatakan, “Bagaimana mungkin pemerintah bermurah hati luar biasa kepada sepak bola.”

Partido Popular tidak keberatan mengungkap nama-nama klub penunggak pajak karena Real Madrid tidak berada di dalamnya. PP, demikian partai itu dikenal, berafiliasi dengan Los Blancos. Lawannya adalah Partido Socialista Obrero Español (PSOE) yang berhubung an erat dengan Barcelona. Pemerintah tidak akan mempertimbangkan untuk memberikan pemotongan pajak kepada klub-klub. Sedangkan, PSOE mengusulkan klub-klub penunggak pajak, terutama yang luar biasa besar, dikeluarkan dari La Liga.

PSOE tampaknya telah mempertimbangkan masak-masak usul ini. Mereka yakin, Barcelona yang juga berutang pajak 48 juta euro akan bisa membayar. Namun, bagaimana dengan Atletico Madrid yang berutang pajak lebih dari 150 juta euro.

Tidak diketahui apakah Aletico Madrid memiliki koneksi politik di parlemen atau berafiliasi dengan partai tertentu. Yang pasti, IU tidak berafiliasi ke klub manapun dan cenderung bersuara keras jika menyangkut masalah pajak dan utang. Juan de Dios Crespo, pengacara olahraga, berharap, pemerintah memiliki keberanian untuk mengakhiri semua ini. Jika tidak, sepak bola Spanyol akan menghadapi situasi lebih buruk pada masa depan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement