REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Teguh Setiawan (wartawan Republika)
Ketika Ferran Soriano mengambi alih kursi presiden pada 2003, Barcelona sedang dalam krisis mengenaskan. Mereka tercekik utang, kehilangan penghasilan, dan menerapkan pembatasan gaji pemain. Kebijakan pendahulu Soriano menyebabkan Barcelona gagal meraih trofi La Liga empat musim berurutan dan kesulitan bermain di kancah Eropa. Sebagai mesqueunclub, publik Barcelona tidak bisa menerima semua ini.
Soriano mengubah pendekatan. Ia menghapus pembatasan gaji dan mencoba meraih penghasilan dari berbagai sektor. Hasilnya, Barcelona memenangkan gelar La Liga tiga musim dan meraih dua gelar Liga Champions.
Namun, pendekatan Soriano ha nya menghasilkan sukses di lapangan, bukan di neraca keuangan. Barcelona tetap berutang dan akan selalu berutang, menunggak pajak, dan tetap menjadi pihak inferior ketika menghadapi Real Madrid dalam persaingan meraih revenue.
Dalam Goal, buku yang ditulis sang mantan presiden, Soriano memaparkan bagaimana Joan Laporta—tokoh karismatik yang menggantikannya —mencoba memperbaiki neraca keuangan Barcelona dengan pendekatan global marketing. Barca tidak lagi fokus ke pasar domestik. Mereka coba mengembangkan pasar global dan berupaya menjadi brand internasional terbesar.
Harga tiket naik 40 persen. Mereka juga berusaha mencari data fans yang meninggal. Dalam beberapa tahun terakhir, jumlah fans Barcelona yang meninggal mencapai 9.000 orang. Lebih penting lagi, Barcelona mengopi mentah-mentah strategi global Manchester United. Mereka menyambangi pasar Asia dan tidak lagi terpaku pada pasar negara-negara berbahasa Spanyol, yaitu Amerika Latin.
Setelah tiga tahun berada di kursi kepresidenan, Laporta melihat strategi global marketing tidak bekerja. Barcelona kesulitan menjual merchandise jauh di luar Spanyol. Me reka tetap tidak bisa menyaingi Manchester United dan Real Madrid. Namun, strategi itu tidak benarbenar gagal. Barcelona berhasil memasuki pasar Jepang, tempat Real Madrid dan Manchester United begitu berpengaruh. Ini bisa dimaklumi karena Jepang lebih menyukai institusi yang stabil dan Barcelona relatif klub yang stabil.
Laporta melihat Barcelona tidak mungkin bisa menjual brand jika klub itu masih mengaitkan diri dengan nasionalisme Katalan. Harus ada terobosan baru yang mungkin menjungkirbalikkan emosi nasionalisme. Sebelum Laporta tiba, publik Ka talan menolak logo sponsor di kostum Barcelona. Bagi masyarakat tradisional Katalan, kostum Barcelona adalah bendera nasional, bukan klub. Tidak ada sponsor di bendera nasional.
Laporta berhasil mengubah cara berpikir fans Barcelon, dengan mengundang UNICEF—lembaga PBB yang mengurus anak-anak—untuk menjadi sponsor kostum. Maka, muncullah logo UNICEF di kostum Barcelona. El Barca tidak memperoleh bayaran sepeser pun karena UNICEF adalah bukan lembaga cari untung. Ketika utang Barcelona mulai sulit dibayar, Laporta kembali meminta fans membiarkan kostum Barcelona diberi logo sponsor. Barcelona mengundang Pemerintah Qatar. Kini Qatar Foundation terbaca di kostum Barcelona dan untuk semua itu Barcelona menerima 30 juta euro per tahun.
Yang agak mengherankan dari Goal adalah Soriano tidak berbicara banyak soal La Masia. Padahal, akademi sepak bola ini adalah salah satu strategi jangka panjang yang diterapkannya. Dari La Masia inilah Barcelona menghasilkan banyak pemain yang saat ini menjadi kunci sukses tim, tiga di antaranya adalah Cesc Fabregas, Leonil Messi, dan Gerard Pique.
Muncul spekulasi, Soriano enggan membicarakan La Masia karena pada masanya terjadi penjualan bakat paling berkualitas di akademi itu, Fabregas dijual ke Arsenal, dan Pique diboyong Manchester United karena saat itu Barcelona sedang tercekik utang pajak.
Kini, Barcelona tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan untuk mengingkatkan penghasilan dan mengeluarkan klub masyarakat Katalan ini keluar dari cekikan utang.