REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Abdullah Sammy/Wartawan Olahraga Republika
Bintang timnas Uruguay, Luis Suarez pernah mengatakan, “Di Amerika Latin batas antara politik dan sepak bola sangat samar. Sudah banyak daftar pemerintahan yang gagal dan tumbang sebagai akibat kekalahan timnas sepak bolanya.”
Ucapan Suarez boleh jadi hanya berlaku di negaranya yang terbukti kaya akan prestasi di sepak bola. Di Indonesia, negara berprestasi sepak bola terbelakang, yang terjadi justru sebaliknya; sepak bola yang bergantung pada politik.
Masih belum lekang dari ingatan bagaimana timnas Indonesia yang hendak bersiap melakoni laga hidup mati di Piala AFF 2010, harus dibawa “bersafari” ke rumah Ketua Umum Partai Golkar, Aburizal Bakrie. Dan yang terbaru, PSSI memilih seorang politisi aktif DPR asal Partai Demokrat, Ramadhan Pohan, sebagai manajer timnas sepak Bola Indonesia.
Penunjukan Ramadhan sendiri langsung menimbulkan pertanyaan luas dari publik. “Sampai kapan sepak bola harus mengemis di bawah pengaruh politik? Inilah hal yang disuarakan para aktivis yang tergabung dalam Save Our Soccer (SOS).
Penunjukan Ramadhan Pohan dianggap sebagai kecerobohan PSSI pimpinan Djohar Arifin Husin. “Kami sangat menyayangkan hal itu terjadi, dimana lagi-lagi politisi ikut campur dalam urusan persepakbolaan negeri. Hal itu adalah penghianatan Revolusi PSSI,” kata aktivis SOS, Apung Widadi lewat keterangan pers yang diterima wartawan.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa pemerintah lewat Menpora Andi Mallarangeng mengancam akan membekukan dana bagi timnas menyusul polemik organisasi PSSI. Dengan kehadiran Ramadhan yang notabene orang dekat Andi, ancaman itu dinilai SOS bisa diredam PSSI. “Diduga, politisi Demokrat tersebut dipilih karena untuk melancarkan sumbangan dari APBN untuk Timnas yang mandeg dari Kemenpora,”
Bila dugaan yang dilayangkan SOS benar, maka sepak bola Indonesia kembali harus dikotori politik untuk menyelesaikan masalah yang ironisnya juga terjadi sebagai dampak politisasi sepak bola antara PSSI vs KPSI.
Dengan kata lain, PSSI dinilai menyapu masalah dengan sikat yang kotor. Hal ini membuat SOS pesimis persoalan polemik dan prestasi sepak bola akan berakhir. “Jika demikian, tentu saja ini plihan yang naif, dimana cara-cara politik dan personal justru dilakukan daripada memperkuat kelembagaan PSSI itu sendiri,” ujar SOS.
Lebih dari itu, SOS menilai penunjukan Ramadhan dikhawatirkan akan merusak indenpensi PSSI yang pada awalnya meneriakkan jargon reformasi sepak bola. Dia pun meminta agar PSSI membatalkan keputusannya dan memilih timnas dimanajeri seorang yang mengerti manajemen sepak bola.
“Kami SOS menuntut PSSI untuk membatalkan keputusan tersebut, yaitu menolak politisi urusi sepakbola. Ganti dengan yang lebih ahli dalam mengelola manajemen Timnas, bukan politisi serabutan,” pungkas Apung.
Segala kritik coba ditepis PSSI dengan mengatakan penunjukan Ramadhan hanya demi kepentingan laga uji coba timnas melawan Palestina. Menurut PSSI status Ramadhan yang mengurusi soal politik luar negeri akan dimanfaatkan PSSI untuk menjalin relasi dengan pihak Palestina.
“kami ingin menjalin hubungan jangka panjang dengan sepak bola Palestina. Ini demi dukungan kemerdekaan Palestina. Karena itu kami memilih figur yang mengerti politik internasional,” ujar ketua Umum PSSI, Djohar Arifin Husin. Pernyataan Djohar tersebut seakan membuat PSSI melebihi menyerupai Kementerian Luar Negeri yang memang tugasnya mengurusi politik antar-bangsa.
Di pihak lain Ramadhan mengaku telah meminta restu dari ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum untuk maju sebagai amanajer timnas. Ramadhan mengaku posisinya sebagai manajer hanya berjangka waktu beberapa minggu. “Saya hanya ditugasi sampai turnamen Palestina.”
Dia pun membantah ada motif politis dibalik penunjukannya. Menurut anggota Komisi I DPR tersebut, tugasnya hanyalah membuat timnas terbebas dari gangguan eksternal dan internal. “Saya bertugas memastikan kebutuhan tim terpenuhi, misalnya hotel, makanan, atau gizi. Dan juga menjaga dari kemungkinan usaha pihak luar yang ingin mempengaruhi timnas dengan cara-cara yang tidak sehat,”
Apa yang terjadi di sepak bola Indonesia kini, timnas justru diisi kalangan politisi, jadi jawaban mengapa sepak bola Indonesia sulit berpretasi. Ini berbanding terbalik dengan situasi di Amerika Latin, dalangan politisi (terutama dari partai pemenang) justru berlomba-lomba mendukung dunia sepak bola berprestasi demi mempertahankan posisi politiknya.
Di negara dengan politik totaliter seperti Venezuela saja, tidak ada campur tangan langsung dari orang-orang Partai Persatuan Sosialis (partainya Hugo Chavez) di kursi timnas. Tim Venezuela justru diisi oleh seorang manajer yang merupakan pakar sepak bola bernama Lino Alonso.
Hal ini akhirnya berdampak pada prestasi terbaik sepak bola Venezuela yakni peringkat empat Copa America yang terjadi di masa politik Chavez. Prestasi sepak bola pun menjadi salah satu penentu keberlangsungan dinasti politik Chavez di tengah propaganda Amerika yang mendukung kubu oposisi.
Hal berbeda justru terjadi di Indonesia. Karena sekalipun timnas kalah, tapi kalangan politisi tetap bisa berkelit, sesuai dengan kelihaian mereka bersilat lidah. Mereka bahkan bisa terus melenggang dengan promosi gratis saat konferensi pers maupun kemunculan di layar televisi!