REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Abdullah Sammy/Wartawan Olahraga Republika
Awal Februari 2012, darah tertumpah di lapangan sepak bola Mesir. Laga antara tuan rumah Al Masri melawan Al Ahli berakhir dengan bentrokan suporter yang menewaskan 73 jiwa.
Tepat ketika wasit meniup pluit akhir pertandingan, sekitar 10 ribu pendukung Al Masri yang berpakaian hijau merangsek masuk ke atas lapangan di kota Port Said. Menggunakan pisau, benda tumpul, dan kayu, sayap suporter fanatik Al Masri menganiaya semua orang yang memakai atribut kebesaran Al Ahli.
Seusai laga, pihak kepolisian Mesir mengumumkan bahwa 73 nyawa melayang--yang hampir seluruhnya merupakan pendukung Al Ahli.
"Hari terkelam dalam sepak bola," ungkap FIFA lewat situs resminya mengomentari tragedi sepak bola di Mesir.
***
Berjarak ribuan kilometer dari Port Said, rombongan suporter Persebaya Surabaya, Bonek, diserang oleh oknum suporter asal Lamongan tepat sebulan setelah insiden sepak bola Mesir. Para Bonek yang tengah menumpang kereta barang menuju Bojonegoro, dihujani lemparan batu begitu memasuki kota Lamongan.
Akibat insiden ini, lima nyawa anak bangsa melayang. Kelimanya meregang nyawa saat masih mengenakan kostum tim kesayangannya.
Dan pada Ahad (27/5) lalu, di jantung ibu kota Republik Indonesia, tiga orang putra bangsa kembali meregang nyawa seusai laga terbesar di sepak bola Indonesia Persija Jakarta versus Persib Bandung. Sebuah peristiwa berdarah yang hanya berjarak sekitar satu kilometer dari markas Kepolisian daerah Metro Jakarta Raya.
Dari tiga korban tewas, dua di antaranya berhasil diidentifikasi bernama Lazuardi (29 tahun) asal Jakarta dan Rangga Cipta Nugraha (22 tahun) asal Bandung.
***
Perstiwa di kota Mesir, Lamongan, dan Jakarta jadi potret bagaimana sepak bola tidak hanya memuat persaingan 22 manusia di lapangan hijau, namun menyangkut fanatisme puluhan ribu massa yang berbalut kostum tim kebanggaan. Saat pertandingan 90 menit antara kesebelasan berlangsung, pertarungan emosi pun berkecamuk antara dua kelompok suporter.
Pertarungan suporter pun kerap tidak usia saat laga 90 menit berakhir, namun bakal berlanjut dalam hitungan tahun bahkan dekade.
Namun tidak selamanya faktor lapangan jadi pemantik bara antara dua kelompok suporter. Dalam banyak kasus, rivalitas dua klub sepak bola justru dipantik persoalan di luar lapangan. Seperti dalam kasus Al Masri vs Al Ahli yang ditenggarai sebagai dampak lanjutan dari revolusi politik Mesir.
Kelompok Masri diafiliasikan sebagai pendukung eks presiden terguling Mesir, Hosni Mubarak. Sedangkan suporter Al Ahli merupakan salah satu elemen yang terlibat dalam proses penggulingan Mubarak lewat aksi di lapangan Tahrir, Kairo.
“Aksi kerusuhan di laga Al Masri dan Al Ahli sengaja dibuat agar menciptakan kesan bahwa era Mubarak jauh lebih baik dari saat ini,” tuding anggota parlemen Mesir, Abbas Mekhimar seperti dikutip Sky.
***
Namun di sepak bola Indonesia situasinya jauh berbeda dibanding konflik sepak bola Mesir. Bukan perbedaan politik yang menjadi pemantik rivalitas, melainkan dendam murni antar dua pendukung sepak bola, seperti yang terjadi di balik kasus tewasnya suporter Persebaya di Lamongan.
Peristiwa itu tidak terlepas dari dendam antara kelompok suporter Persela Lamongan, LA Mania dan Bonek saat kedua tim bertemu selama 90 menit di Liga Indonesia musim 2004.
Walhasil dendam seusai laga, terbawa hingga delapan tahun berselang. Pun halnya antara Persija versus Persib Bandung. Bara yang tercipta diawali konflik sebelum laga kedua tim tahun 2000. Konflik pun terus tertaman sehingga dendam terus bersemayam antara Jak Mania dan Viking kini.
Sebelum laga, Persija vs Persib Ahad lalu, pemain dari kedua belah kubu sempat menyampaikan sebuah pesan damai dengan sebuah spanduk bertuliskan; “The Jak dan Viking bersatulah!” Namun insiden tetap saja terjadi seusai pertandingan.
Kendati belum bisa dipastikan apa penyebab dan pelaku insiden seusai laga Persija vs Persib, namun sebuah kenyataan tidak terelakkan; ada nyawa melayang di sekitar lokasi pertandingan sepak bola Indonesia!
“Kita tidak bisa menduga-duga, Biar kepolisan dan bekerja untuk menyimpulkan apa yang sebenarnya terjadi. Kami (Persija) senantiasa mendukung kinerja polisi untuk mengungkap kasus itu,” ungkap Ketua Umum Persija, Ferry Paulus mengomentari kasus tewasnya tiga pemuda di sekitar area Gelora Bung Karno.
***
Terlepas penyebab insiden di Gelora Bung Karno, sebuah kenyataan yang menyedihkan kini terpanpang dalam sejarah sepak bola Indonesia. Sejarah kelam karena delapan anak bangsa telah meregang nyawa selama tiga bulan terakhir! Yang disesalkan, peristiwa ini terjadi di dunia yang menjunjung sportivitas.
Dalam kasus di Lamongan dan Jakarta, belum ada sebuah tindakan nyata dari pemerintah sebagai respon atas hilangnya delapan nyawa anak bangsa. Berbeda dengan Mesir yang langsung menghentikan seluruh kegiatan sepak bolanya hingga kini akibat tewasnya pendukung sepak bola.
Terlepas dari tindakan pemerintah, sejumlah pemain sepak bola Indonesia mulai menyuarakan pesan damai kepada suporter untuk menghindari kekerasan.
“Marilah kita semua untuk bersikap dewasa. Kita menonton sepak bola untuk bersenang-senang. Bukan untuk saling membenci. Mari kepada seluruh pendukung untuk saling tidak mendendam dan mulai mendukung kesebelasannya secara positif,” ujar kapten Persib Bandung, Maman Abdurrahman.
Apa yang diungkapkan Maman, diamini oleh gelandang timnas Indonesia, Firman Utina. Menurutnya, suporter sepak bola Indonesia bisa mencontoh tradisi sejumlah pendukung sepak bola yang bisa bersuka cita saat mendukung tim kesebelasannya, namun bisa menjunjung suportivitas di luar lapangan. “Marilah kita mendukung kesebelasan secara sportif. Contohlah prilaku suporter yang damai,”
Apa yang diutarakan Firman memang sudah jadi keniscayaan di sepak bola Eropa dewasa ini. Rivalitas dan rasa dendam boleh terus terpelihara, namun suportifitas tetap mengalir bersamanya. Apa yang terjadi di laga El Clasico antara Barcelona vs Real Madrid menjadi contoh nyata.
***
Walau kebencian sudah mendarah daging pada suporter Barca dan Madrid, namun tidak ada aksi yang menyebabkan tumpahnya darah kedua pendukung. Padahal dendam yang melatbelakangi permusuhan, jauh lebih beralasan dibanding perseteruan suporter sepak bola Indonesia.
Dendam Barca dan Madrid dipantik tewasnya ribuan rakyat Katalan, Barcelona yang berperang melawan Kerajaan Spanyol di Madrid tahun 1640.
Bagi pendukung Barca dan Madrid aksi kekerasan untuk menghilangkan nyawa sang rival sudah merupakan tindakan kuno yang ditinggalkan usai berakhirnya perang revolusi Katalan, ratusan tahun silam. Kini keduanya berperang lewat aksi dukungan di sisi lapangan.
Sebuah upaya yang berbuah pada kejayaan Barcelona dan Real Madrid sebagai salah satu klub tersukses di Spanyol maupun dunia.