Senin 18 Jun 2012 12:05 WIB

Inilah Empat Universitas Sepak Bola Dunia

Rep: Abdullah Sammy/ Red: Heri Ruslan
 Pemain Jerman Lukas Podolski (kedua kiri) usai mencetaK gol pertama ke gawang Denmark dalam laga babak penyisihan Grup B Piala Eropa 2012 di Stadion Arena Lviv, Ukraina, Senin (18/6) dini hari WIB. (Michael Probst/AP)
Pemain Jerman Lukas Podolski (kedua kiri) usai mencetaK gol pertama ke gawang Denmark dalam laga babak penyisihan Grup B Piala Eropa 2012 di Stadion Arena Lviv, Ukraina, Senin (18/6) dini hari WIB. (Michael Probst/AP)

REPUBLIKA.CO.ID, Ada empat “Universitas” yang harus dikunjungi untuk “mengkhatamkan” ilmu dan taktik sepak bola. Jika anda ingin mengelotok dalam urusan fisik, pergilah ke Inggris menikmati kerasnya persaingan Liga Premier Inggris.

Layaknya kuliah jurusan pengetahuan alam di Berkeley, seorang pesepak bola akan mendapat pelajaran tentang kerasnya sepak bola secara empirik. Tidak hanya keras di atas rumput, “kerasnya” sepak bola Inggris juga berlaku di luar lapangan dengan kejamnya Paparazzi.

Simak saja cuplikan video dari seorang aktor sekaligus pemain sepak bola, Vinnie Jones berjudul Soccer's Hard Men. Video itu cukup memberi pesan; “Siapkan fisik anda dalam 90 menit laga di Inggris Raya!”

“Universitas” kedua ada di tanah Jerman. Di sanalah pesepakbola bisa belajar tentang mental baja khas Bavaria. Ibarat menempuh perkuliahan di Fakultas Sejarah Cambridge, para pesepkbola akan meneliti langsung arsip hidup sepak bola Panser.

Prinsip Jerman Uber Alles (Jerman segalanya) terus bersemayam di hati para pemain Bavaria. Sehingga tidak heran, sekalipun dalam kondisi sulit, tim sepak bola Jerman mampu tetap bersaing menjadi sang juara.

Italia, jadi “Universitas” ketiga yang wajib dikunjungi untuk belajar caranya taktik permainan. Di sanalah bermunculan santo-santo yang membawa pencerahan terhadap dunia sepak bola. Ibarat belajar di Universitas Kepausan Lateran, seseorang pesepakbola akan belajar “wahyu” dari  berbagai macam taktik.

Ada wahyu sepak bola bertahan yang pernah diberikan oleh Helenio Herrera. Atau taktik sepak bola menyerang ala Arrigo Sacchi. Ada pula prinsip bermain seimbang ala Fabio Capello.

Di Italia pula muncul revolusi “traquartista” yang diciptakan Marcello Lippi. Dengan bantuan bakat seorang Zinedine Zidane, Lippi memberi wahyu pada dunia akan keberadaan satu posisi di belakang dua penyerang. Posisi yang kemudian di kenal dengan formasi taktik 4-3-1-2.

Ada lagi carlo Ancelotti yang memberikan pencerahan baru dengan memperkenalkan formasi pohon natal 4-3-2-1. Di tangannya pulalah lahir penemuan posisi “regista” di diri Andrea Pirlo.

"Universitas" terakhir yang harus dijamah untuk “megkhatamkan” sepak bola adalah Spanyol. Inilah negara yang akan memberi banyak ilmu terkait teknik serta kemampuan olah bola. Sudah banyak kaki-kaki dunia yang terasah di atas gemerlapnya sepak bola Spanyol, sebut saja Diego Maradona, Romario Faria, Rivaldo, Luis Nazario Ronaldo, hingga era Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi.

 Bermain di Spanyol ibarat mengambil perkuliahan teknologi di Massachusetts Institute. Seorang pesepakbola akan mendapat fasilitas pembinaan sepak bola terbaik, seperti di La Masia (pusat pembinaan klub Barcelona).

Dengan iklim sepak bola yang mendukung, tidak heran banyak pesepakbola yang melonjak kemampuannya begitu berguru di Spanyol. Seorang Lionel Messi contohnya, yang diagnosis mengalami kelainan gen, namun mampu menjadi pesebak bola nomor satu di muka bumi akibat polesan teknik ala Spanyol.

Namun bukan berarti sebagai “Universitas” sepak bola, Inggris, Jerman, Italia, dan Spanyol, bisa begitu saja dikedepankan di tiap kejuaraan sepak bola, termasuk Piala Eropa kali ini. Karena di era modern sepak bola, “Universitas” sepak bola itu justru tidak mengenal batas negara. "Universtitas sepak bola kini terbuka bagi tiap negara dunia, layaknya sistem penerimaan mahasiswa di Harvard, Cambridge, atau Universitas California, Berkeley.

"Lulusan” terbaik dari “Universitas-Universitas” sepak bola bahkan berasal dari luar negerinya. Liga Inggris memilih seorang Belgia Vincent Kompany sebagai pemain terbaik musim 2012, Jerman memilih seorang Turki; Nuri Sahin (2011), Italia didominasi penyerang Swdia Zlatan Ibrahimovic (2011), sedang Spanyol dikuasai seorang Portugal dan Argentina (Ronaldo dan Messi).

Dengan kenyataan itu, jadi lumrah jika kesenjangan kekuatan di sepak bola kini semakin tipis. Pun halnya perbedaan kualitas antar-tim peserta Piala Eropa 2012. Ini karena hampir semua negara peserta memiliki pemain pilar "berjaket almamater" Universitas utama sepak bola.

Namun ada satu hal lain yang terlepas dari keempat ilmu sepak bola di atas; keberuntungan! Dan keberuntungan itu bisa menjadi anti-tesis dari kehebatan fisik ala Inggris, mental Jerman, taktik Italia, atau teknik ala Spanyol!

Siapa yang akan memiliki keberuntungan itu di Piala Eropa 2012?  Wallahualam…..

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement