Rabu 20 Jun 2012 06:40 WIB

Perkembangan Sepakbola (III) Penyempurnaan Tiki-taka

Rep: teguh setiawan/ Red: M Irwan Ariefyanto
Logo Barcelona FC
Foto: fcbarcelonawallpapers.net
Logo Barcelona FC

REPUBLIKA.CO.ID,Di era Rijkaard inilah La Masia mulai mengeluarkan produknya; Xavi Hernandez dan Andres Iniesta. Pada saat yang sama, Pep Guardiola menangani Barcelona B, dengan se jumlah pemain masa depan di da lamnya. Lionel Messi, salah satunya.

Rijkaard meninggalkan Barce lona tahun 2008. Pep Guardiola, figur yang dipersiapkan menjadi pelatih oleh Johan Cruyff, datang. Namun Guardiola sama sekali tidak menanggalkan sistem bermain pendahulunya.

Ia hanya memperkenalkan skema bermain yang menuntut semua pemain harus mampu menyerang dan bertahan sebagai satu unit. Pemain seperti Thierry Henry dan Lionel Messi, harus rela turun ke bawah untuk memerkuat pertahanan.

Secara alamiah, skema baru mem butuhkan pemain baru, dan menjadikan sejumlah pemain sebagai korbannya. Ronaldinho, Deco, Gianluigi Zambrotta, Edmilson, dilepas. Sebagai gantinya, Dani Alves, Seydou Keita, Alexandre Hleb, masuk. Guardiola juga matimatian membawa pulang Gerard Pique – mantan pemain La Masia – dari Manchester United, Guardiola mempromosikan Sergio Busquets, Pedro dan Jeffren, ke tim inti. Tahun berikutnya, Samu el Eto’o dilepas ke Inter Milan, untuk ditukar dengan Zlatan Ibrahimovic.

Barcelona melakukan kesalahan serius. Ibra bukan pemain yang sudi turun ke belakang membantu pertahanan, tapi striker yang lebih suka berkeliaran di kotak penalti untuk menerima umpan dan mencetak gol. Sejarah Barcelona mencatat Ibra sebagai transfer terburuk.

Di tangan Aragones, tiki-taka gagal mengantar Spanyol ke tempat terhormat di Piala Dunia 2006. Dua tahun kemudian, Aragones menggunakan gaya bermain yang sama untuk menjadikan Spanyol juara Euro 2008.

Tiki-taka Aragones relatif belum sempurna. Guardiola menyempurnakannya di Barcelona, dengan mengajarkan setiap pemain fokus pada kemampuan diri, kreatif memainkan bola, dan cerdas mengalirkan serang an cepat dengan umpan pendek.

Menurut Guardiola, tiki-taka ada lah solusi bagi Barcelona dan Spanyol, yang memiliki pemain bertubuh lebih kecil dibanding orang Eropa lainnya. Tiki-taka membuat Barcelona bermain sebagai unit; semua bertanggung jawa mencetak gol dan memenangkan laga, dan semua wajib turun menjaga pertahanan lawan.

Meski demikian kritikus kerap menganggap Guardiola terlalu tergantung pada Messi. Padahal, tikitaka – seperti total football yang diajarkan Michels dan Cruyff – tidak membutuhkan pemain berkemampuan menonjol.

Raphael Honigstein, seorang kolumnis sepakbola, menyebut tikitaka sebagai permainan memonopoli bola. Tiki-taka, lanjutnya, menjadikan Spanyol meninggalkan permainan fisik dan sepenuhnya mengembangkan teknik.

“Dengan tiki-taka, Spanyol membuat lawan lelah,” ujar Honigstein. “Saat lawan kehilangan konsentrasi bertahan, Xavi melepas umpan ke jantung pertahanan, atau Iniesta melakukan fast break yang diakhiri umpan tarik mematikan,” ujar Honigstein.

Bagi Vicente Del Bosque, yang menggantikan Luis Aragones, tikitaka bukan sesuatu yang asing. Saat melatih Real Madrid antara 1999- 2003, Del Bosque juga menggunakan cara bermain sama. Bedanya, Del Bosque sepenuhnya tergantung pada pemain-pemain impor, Guardiola memainkan tiki-taka dengan bakat lokal.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement