Kamis 21 Jun 2012 02:00 WIB

Perkembangan Sepakbola (VIII), Tiki-taka Gaya Roma

Rep: teguh setiawan/ Red: M Irwan Ariefyanto
Pelatih AS Roma, Luis Enrique, dalam tekanan besar setelag hasil mengecewakan di Serie A. (Foto: AP/Paolo Giovannini)
Pelatih AS Roma, Luis Enrique, dalam tekanan besar setelag hasil mengecewakan di Serie A. (Foto: AP/Paolo Giovannini)

REPUBLIKA.CO.ID,Musim lalu, semua mata tertuju ke Stadion Olimpico ketika Walter Sabatini – direktur olah raga AS Roma – mengumumkan penunjukan Luis Enrique sebagai pelatih. Hampir semua koran mengomentari penunjukan itu, sebagian besar meragukan kemampuan mantan pelatih Barcelona B itu, lainnya mencoba berharap.

Akhir musim ini, hampir tidak ada yang meratapi kepergian Luis Enrique ketika pelatih asal Spanyol itu memutuskan pergi dari Olimpico. Fans Giallorossi tidak melepasnya dengan senyum. Sejumlah pemain, terutama yang diboyong sang pelatih, kebingungan dan menghadapi keti dakpastian masa depan.

Entah bagaimana publik Italia, terutama fans AS Roma, mengenang Luis Enrique. Salah satu koran di Roma menulis Luis Enrique mungkin akan dikenang sebagai pelatih yang gagal menggunakan tiki-taka untuk mengangkat Roma. Lainnya lebih suka menyalahkan Walter Sabatini sebagai penyebab kegagalan Roma mengakhiri musim di zona Liga Champions.

Walter Sabatini mengabaikan satu hal ketika mengambil keputusan menunjuk Luis Enrique sebagai pelatih, yaitu budaya sepakbola Italia. Namun Sabatini tidak bisa dipersalahkan. Ia mendapat dukungan Franco Baldini, general manager AS Roma, yang saat itu tergila-gila Barcelona dan ingin Giallorossi bermain seperti skuat asuhan Pep Guardiola.

Publik Serie A tidak mengenal sistem, mazhab sepakbola, atau apa pun yang berkenaan dengan taktik dan strategi. Mereka hanya ingin melihat timnya menang, bagaimana pun caranya. Bahkan, menurut Franco Ferrari – mantan kepala kamp latihan timnas Italia – publik Italia mengabaikan sepak bola indah dan menghibur.

“Mereka juga tidak peduli dengan pembangunan tim demi masa depan klub. Yang mereka inginkan adalah kemenangan instan,” ujar Ferrari. “Itulah yang kerap mereka tuntut dari pelatih baru.”

Sabatini memang melupakan budaya sepakbola negerinya sendiri. Ini tercermin dari pernyataannya saat menunjuk Luis Enrique. “Enrique mewakili mazhab sepakbola yang ingin kami ikuti, sebuah mazhab yang sukses dimainkan timnas Spanyol dan Barcelona,” ujarnya.

Lebih dari itu, masih menurut Sabatini, Roma membutuhkan pelatih dari luar Italia. “Seorang pelatih yang tidak terkontaminasi permainan negatif, dan tak menghibur,” lanjutnya.

Luis Enrique merespons pernyataan Sabatini, dengan mengatakan; “Roma tahu saya adalah pelatih yang memainkan sepakbola menyerang dan memperagakan sepakbola indah, untuk meraih kemenangan. Saya tidak akan berubah, atau menyesuaikan diri dengan tuntutan budaya Italia.”

Di kesempatan lain, Luis Enrique juga mengatakan; “Roma akan bergerak menuju perubahan gaya permainan dan identitas. Namun saya tidak datang ke sini untuk mencangkokan model Barcelona, tapi akan berusaha bermain dengan cara yang sama.”

Luis Enrique menjalankan semua programnya. Ia berusaha mentransformasi permainan Roma dengan dua cara; melatih kembali seluruh pemain lama dengan metode baru, dan mendatangkan pemain yang dianggap bisa menjalankan metodenya di pertandingan sesungguhnya.

James Horncastle, seorang analis sepakbola, mencoba mengevalusi upaya Luis Enrique mencangkok tiki-taka di Roma.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement