REPUBLIKA.CO.ID,Di tahun 1980-an, Johan Cruyff mengembangkan possesion game Barcelona. Di Inggris, klub-klub melakukan yang sebaliknya, sebisa mungkin meminimalkan passing agar bisa mencetak gol secepat mungkin.
Di final Liga Champions 2011, ke dua mazhab sepak bola bertemu. Manchester United mewakili permainan minimum passing, dan Barcelona telah mencapai tahap master dalam permainan short passing yang sejak 2006 dikenal dengan sebutan tiki-taka. Hasilnya, Manchester United kalah 3-1.
Bukan kali pertama publik sepakbola Inggris disuguhi pertemuan dua mazhab, yang hasilnya adalah kekalahan di pihak mereka. Colin B Robertson, kolumnis sepakbola Inggris, mengatakan pertemuan Inggris- Hongaria di Wembley pada 25 No vember 1953 juga pertemuan dua gaya sepak bola bertolak-belakang.
Inggris, yang saat itu tak terkalahkan di kandang, bermain dengan direct football. Hongaria memainkan umpan-umpan pendek cepat dan serangan bergelombang. Three Lions saat itu diperkuat dua legendanya; Stanley Matthews dan Alf Ramsey. Hongaria datang ke London dengan rekor tak terkalahkan dalam 24 laga. Mereka diperkuat semua figur yang kini menjadi legenda; Nandor Hidegkuti, Ferenc Puskas, Sandor Kocsis, dan Zoltán Czibor, yang kemudian dikenal sebagai Magic Magyar.
Hasilnya, Inggris hanya punya kesempatan mencetak tiga gol lewat Jackie Sewell, Stan Mortensen, dan Alf Ramsey. Di kubu Hongaria, Hidegkuti mencetak hattrick, Puskas mengoleksi dua, dan József Bozsik mencetak satu gol.
Beberapa bulan kemudian, tepatnya pada 25 Mei 1954, Inggris mengunjungi Budapest – ibu kota Hongaria – dengan maksud membalas kekalahan. Yang terjadi adalah pembantaian. Inggris pulang dengan kekalahan 7-1.
Hongaria unggul tiga gol dalam 20 menit, lewat aksi Mihály Lantos, Puskas, dan Kocsis. Di babak kedua, tuan rumah mencetak empat gol lagi lewat Kocsis, Puskas, Hidegkuti, dan József Toth. Inggris hanya membalas satu lewat Ivor Broadis.
Menurut Robinson, permainan yang diperlihatkan Hongaria tidak ubahnya gaya bermain Spanyol dan Barcelona saat ini. Hongaria memperagakan umpan-umpan pendek ce pat selama mungkin, seraya terus menekan dan menekan. Lapangan tengah Inggris kesulitan menghentikannya, karena sebagian pemain terpana.
Inggris memang memiliki kesempatan melakukan direct football dan mencetak tiga gol pada laga di Wembley, dan satu di Budapest. Semua itu diperoleh dengan susah payah, dan relatif menghasilkan gol berkat permainan fisik.
Tubuh pemain Hongaria relatif jauh lebih kecil dibanding pemain pemain Inggris. Akibatnya, mereka terintimidasi ketika mencoba merebut bola dari kaki pemain Inggris. Sedangkan Inggris terintimidasi ke lincahan Toth, Czibor, dan Hidegkuti di lini tengah, dan tersiksa oleh gerakan Kocsis dan Puskas di lini depan.
Lebih menarik lagi, Puskas – legenda sepakbola Hongaria sepanjang masa – bukan pemain sempurna. Ia hanya bisa menggunakan kaki kirinya, dan tidak bisa menanduk bola. Tubuhnya sangat tidak ideal untuk ukuran striker dalam permainan sepak bola modern.
Gusztáv Sebes, pelatih Hongaria, saat itu bermain dengan formasi 4-2- 4 di dua laga ini, dengan Hidegkuti menjadi pemain penjelajah. Tidak ada bukti Rinus Michels meniru gaya Sebes, tapi pada Piala Eropa 1988 sang arsitek total football beberapa kali memberi peran penjelajah kepada Ruud Gullit.
Sejak dua kekalahan memalukan itu, sepak bola Inggris membuka diri. Hampir semua klub memperbaiki metode latihannya, dan menggembleng seluruh pemain muda Inggris dengan permainan umpan pendek.
Namun Inggris tidak bisa menanggalkan tradisi kick and rush, dan menerima begitu saja gaya bermain dari luar. Tahun 1966, ketika menjadi juara Piala Dunia, Inggris memainkan direct football dengan formasi 4-3-3.
Di Liga Primer, Wimbledon – klub yang dikenal dengan sebutan Crazy Gang – memainkan direct football yang membuatnya terdongkrak dari conference division ke Liga Primer dalam waktu kurang dari sepuluh tahun. Graham Taylor juga menggunakan direct football ketika membawa Watford dari Divisi IV ke Liga Primer.
Di luar Inggris, Norwegia menyita perhatian dunia sepanjang 1990-an juga berkat permainan minim passing yang diperagakan dengan sempurna. Egil Osel, pelatih Norwegia saat itu, adalah pakar direct football. Ia menggunakan mazhab ini untuk menempatkan Norwegia di urutan kedua ranking FIFA di tahun 1990-an.