REPUBLIKA.CO.ID, Oleh, Abdullah Sammy, Wartawan Republika
(Catatan Sepak Bola Indonesia)
Saya ingin membuka tulisan ini dengan membahas film produksi Columbia Pictures berjudul Identity. Film ini awalnya mengisahkan 10 orang yang berada dalam satu motel di pinggiran Nevada, Las Vegas.
Kesepuluh orang itu adalah seorang ibu, ayah, anak, artis, wanita penghibur, wanita muda, penjaga hotel, polisi, pelaku kriminal, dan pemeran utama yakni seorang sopir yang diperankan oleh John Cusack.
Singkat cerita, satu per-satu sosok perlahan terbunuh. Sontak, film ini mengajak penonton menebak-nebak siapakah penjahat utama dari kesepuluh tokoh ini? Jawaban dari pertanyaan ini semakin mengerucut ketika satu per-satu dari 10 tokoh mati.
Si ibu mati, begitu pun artis, ayah, sang wanita penghibur, penjaga hotel, dan pelaku kejahatan yang seluruhnya tewas. Tinggal tersisa seorang anak, wanita muda, polisi, dan si sopir.
Sosok penjahat di film ini menampakkan titik terang ketika kedok polisi terbongkar. Sosok polisi di film itu ternyata adalah polisi gadungan. Dia sejatinya adalah penjahat yang kabur dari penahanan.
***
Penggalan kisah film yang mendorong penonton berpraduga itu mirip dengan cerita sepak bola Indonesia saat ini. Tingkah polah pelaku sepak bola nasional membuat masyarakat jadi bertanya-tanya.
Siapakah pelaku kejahatan utama di sepak bola Indonesia? Siapa yang merusak, siapa pula yang mau menyelamatkan nasib sepak bola?
Seperti di film, jangan dahulu mengira tampilan atau penamaan sesuai dengan kenyataan. Jangan buru-buru menebak kalau Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI) punya peran yang sesuai dengan namanya.
Jangan pula buru-buru yakin kalau Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia memiliki misi untuk bersatu. Daripada menebak-nebak, lebih baik cermati seluruh tindakan yang telah dilakukan PSSI dan KPSI selama ini.
Sejak awal PSSI pimpinan Djohar Arifin terbentuk, La Nyalla Mattalitti yang saat itu menjadi anggota Komite Eksekutif, sudah memperlihatkan sikap memberontak. Jauh sebelum mencuatnya polemik kompetisi, La Nyalla Mattalitti (kini Ketua KPSI) sudah bersuara keras soal keinginannya memasukkan eks pengurus PSSI era Nurdin Halid dan Nirwan Bakrie ke dalam formatur PSSI Djohar Arifin Husin.
Keinginan ditolak. La Nyalla makin berontak.
Sikap perlawanan makin berkobar ketika PSSI memutuskan merombak kompetisi dengan menambah peserta dari beberapa eks tim Liga Premier Indonesia (LPI). September 2011, La Nyalla sempat berujar bahwa seluruh anggota PSSI, termasuk dirinya, harus mundur karena tidak memegang amanah.
La Nyalla pun berujar bahwa penentuan sistem kompetisi ditetapkan tanpa sepengetahuan dirinya sebagai anggota Komite Eksekutif. Kredibilitas pernyataan La Nyalla saat itu dibantah langsung oleh Toni Apriliani yang kini menjadi sekutunya di KPSI. "Kita sudah nunggu dia yang keluar rapat. Kita juga sudah telepon dia,” kata Toni kepada wartawan pada 25 September 2011.
Sekalipun pernah mengaku dirinya dan seluruh anggota PSSI tidak amanah, La Nyalla justru kini percaya diri saat duduk di kursi Ketua Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia. Bahkan secara sepihak dia mengklaim sebagai Ketua PSSI yang sah.
Lantas, apakah benar KPSI hendak menyelamatkan sepak bola? Saya kira ada benarnya. KPSI menyelamatkan kepentingannya.
Tengok saja aksi membentuk timnas tandingan. Walau FIFA, AFC, dan AFF sejak awal menegaskan bahwa tim Indonesia harus berada di bawah payung PSSI, mereka memilih bergeming pada sikapnya. Bahkan permintaan pelatih Nil Maizar untuk memanggil pemain, diabaikan KPSI.
Pengabaian hanya karena satu alasan; "Sepak bola Indonesia yang sah, adalah sepak bola yang timnasnya berada di bawah kepengelolaan KPSI," Begitu alasan Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia. Jadi jika tidak ada KPSI, maka tidak ada istilah Indonesia. Seperti itu logika yang bisa dipetik.
Lantas bagaimana dengan PSSI Djohar Arifin, apakah mereka berada di pihak perusak atau penyelamat? Untuk menilainya, tidak perlu mendengar kata pembelaan dari pengurus PSSI. Cukup tengok, apa yang telah mereka perbuat selama setahun lebih menjabat.
Fakta membuktikan, di era Djohar Arifin-lah sepak bola Indonesia mencatat rekor terburuk sepanjang sejarah, yakni kekalahan telak 0-10 dari Bahrain! Mau ada sejuta kata pembelaan, rekor 0-10 tidak akan terhapus dan terbatahkan. Kekalahan di Sea Games dan Piala AFF menjadi satu fakta tersendiri yang bukan hanya milik Djohar Arifin, namun juga para pendahulunya.
Kekalahan memang tidak semata bisa ditimpakan pada PSSI Djohar Arifin semata. Sebaliknya, mayoritas pengurus di KPSI sudah lebih dulu matang dan kaya oleh kekalahan.
Sebagai catatan, selama hitungan tahun rezim pengurus PSSI Nurdin Halid dan Nirwan Bakrie berkuasa, kekalahan timnas selalu jadi hasilnya. Mau 0-1, 0-2, 1-7, atau 0-10, kekalahan tetap kekalahan. titik.
***
Lantas menakah letak kejahatan sepak bola Indonesia sebenarnya? Di PSSI atau KPSI?
Selagi anda berpikir, ada baiknya menengok akhir jalan cerita Identity. Dari empat orang yang diduga pelaku pembunuhan, ternyata semua dugaan itu mentah. Karena sejatinya, tidak ada kisah pembunuhan di sebuah motel di kota Nevada. Tidak ada pula sosok 10 tokoh yang terlibat konflik.
Segala kisah itu hanya bayangan di dalam diri seorang pria psikopat bernama Malcolm Rivers yang sedang diintrogasi oleh psikolog dan polisi. Sosok seorang ibu, ayah, anak, artis, wanita penghibur, wanita muda, penjaga hotel, polisi, pelaku kejahatan, dan sopir, menjadi 10 kepribadian yang bersemayam dalam diri Rivers.
Kepribadian itu yang satu persatu coba disembuhkan Rivers ketika berkonsultasi dengan psikolog. Dari empat pribadi yang tersisa itu, Rivers sukses mengubur kepribadiannya sebagai seorang penjahat (polisi gadungan) maupun pribadinya sebagai seorang sopir.
Walhasil yang tersisa adalah pribadi Malcom Rivers yang feminim laiknya sang wanita muda. Di akhir cerita, misteri pun terungkap. Sosok wanita feminim di tubuh Malcom juga terbunuh oleh sosok anak kecil lugu.
Dan ternyata, keperibadian paling jahat dari 10 sosok di diri Malcom Rivers adalah pribadi sang anak kecil yang lugu. Pribadi anak yang ternyata memiliki kecenderungan untuk menghabisi nyawa orang lain secara brutal!
Kisah Identity punya nafas cerita yang mirip dengan kisah sepak bola Indonesia. Karena sejatinya, permasalahan sepak bola Indonesia ada di dalam diri organisasi PSSI dan KPSI sendiri.
Permasalahan yang tercermin dari hak pemain yang diabaikan. Permasalahan yang tercermin dari krisis prestasi yang ditorehkan. Permasalahan yang terjadi karena buruknya kinerja perangkat pertandingan. Semua masalah ini terjadi di PSSI maupun KPSI!
Lantas jika mau berujar penyelamat, lebih baik lakukan dahulu pembayaran hak kepada pesepak bola, lakukan dulu pembenahan kualitas liga, dan lakukanlah pemberantasan terhadap praktik mafia. Karena di situlah letak kejahatan di sepak bola Indonesia sesungguhnya.
twitter: @Sammy_Republika