REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Sepak Bola, Budiarto Shambazy, berpendapat dengan kasus pengaturan skor yang terjadi antara PSS Sleman melawan PSIS memiliki imbas ke PSSI.
Imbas tersebut didapatkan jika FIFA mengetahui hal tersebut dan ingin turun tangan untuk menyelesaikannya. ''Paling tidak dari melalui AFC yang melarang Indonesia berlaga di segala even sepakbola dalam waktu tertentu,'' ujarnya, Kamis (30/10).
Ia berharap, FIFA tidak terlalu mengintervensi dengan kejadian tersebut dan membiarkan PSSI yang mengurusnya. Tentu, jika FIFA tidak mengintervensi, PSSI segera mungkin membekukan klub tersebut dengan jangka waktu yang ditentukan.
Seluruh elemen seperti pelatih, pemain, pengurus, dan wasit yang ada di dalam pertandingan itu harus dihukum. ''Maksimal lima tahun, tidak boleh beraktifitas di sepak bola. Ini supaya tegas, kalau tidak akan terulang seperti ini lagi,'' kata dia.
Lantas, mengapa kejadian ini bisa terjadi?. Budiarto mengatakan, alasan yang paling utama ialah PSSI tidak memiliki wibawa. Hal itu didapatkan ketika PSSI tidak mengurus liga secara intensif.
Bahkan, dapat dilihat komepetisi yang ada di Indonesia terkesan dibiarkan berjalan sendiri, dan PSSI justru sibuk dengan pertengkaran internalnya.
''Jadi yang seperti itu tidak terlibat untuk memajukan sepakbola. Kompetisi pun asal jalan saja,'' kata dia.
Kesalahan ini, dianggap Budiarto sudah terjadi ketika PSSI dipegang Nurdin Halid. Nurdin ketika itu tidak menjalankan asal dan prinsip yang diatur dalam AFC mengenai standarisasi kompetisi di Asia.
''Seperti klub harus punya infrasutrktur, stadion yang memadai, admisnistrasi yang beres, atau keuangan yang stabil. Itu semua tidak ada, yang penting jalan saja. Itu kesan yang didapatkan,'' kata dia.
Walhasil, sepak bola gajah terjadi ketika dua kesebelasan tersebut saling melakukan gol bunuh diri di laga terakhir Grup N babak 8 Besar Divisi Utama di Stadion Sasana Krida, Kompleks Akademi Angkatan Udara (AAU), Yogyakarta, Ahad (30/10) silam.