Ahad 20 Sep 2015 09:45 WIB

Generasi Emas, Antara Mitos dan Kenyataan

Timnas Portugal saat menghadapi Yunani di partai final Euro 2014 di Stadion Luz, Lisbon, Portugal, pada 4 Juli 2004.
Foto: EPA/Filippo Monteforte
Timnas Portugal saat menghadapi Yunani di partai final Euro 2014 di Stadion Luz, Lisbon, Portugal, pada 4 Juli 2004.

Oleh: Muhammad Iqbal

Redaktur Republika

Dalam khazanah olahraga, publik tentu sudah mahfum dengan frasa generasi emas (golden generation). Menurut pengertian yang disadur dari berbagai sumber, frasa tersebut memiliki arti sekelompok pemain penuh talenta dan berada pada rentang usia identik. Mereka telah atau diharapkan menorehkan prestasi di atas pencapaian yang sudah diraih tim-tim sebelumnya.  

Sebuah pertanyaan pun mencuat di benak penulis. Sebelum populer, dari mana frasa generasi emas bermula? Ternyata, setelah ditelusuri, frasa tersebut dipopulerkan oleh media-media olahraga di Portugal.  

Generasi emas mengacu pada pemain-pemain bertalenta kelas dunia semisal Luis Figo, Rui Costa, Joao Pinto serta Jorge Costa. Mereka menjadi bagian dari kesuksesan Portugal menjuarai Piala Dunia Junior pada 1989 dan 1991. Memasuki milenium kedua tahun masehi, Figo dan kawan-kawan mendekati masa akhir kejayaan dan berada pada medio usia identik.  

Ambil contoh, Luis Figo yang lahir pada 1972, berada pada usia matang pesepakbola (27-32 tahun), tatkala Piala Eropa 2000 dan 2004 maupun Piala Dunia 2002 dihelat. Maka tak heran, mereka diharapkan mampu meraih prestasi tertinggi di ketiga turnamen tersebut. Terlebih, sebelumnya, di ajang sepak bola antarnegara Eropa maupun dunia, prestasi tertinggi Portugal hanyalah semifinalis (Piala Eropa 1984 dan Piala Dunia 1966).  

Pada kesempatan perdana, Portugal bermain apik hingga berhasil menembus babak semifinal Piala Eropa 2000 di Belanda dan Belgia. Perjalanan apik Portugal dari fase grup, diantaranya dengan menyingkirkan Inggris dan Jerman, harus terhenti di tangan Prancis. Meskipun begitu, tidak mudah bagi Prancis menyingkirkan Figo dan kawan-kawan lantaran dibutuhkan babak tambahan plus eksekusi penalti Zinedine Zidane.  

Dua tahun berselang, Piala Dunia 2002 di Korea dan Jepang, bersiap menyambut ledakan Portugal. "Inti dari tim ini telah bermain bersama-sama lebih dari 10 tahun," ujar Figo dalam sebuah wawancara di laman BBC, Sabtu (19/9). 

"Saya, Rui Costa, Joao Pinto dan Jorge Costa, berada dalam tim yang memenangkan Piala Dunia Junior (1989 dan 1991). Sekarang, kami berada pada usia 29 sampai 30 tahun dan sedang berada pada puncak penampilan," lanjut pemain yang ketika itu membela Real Madrid tersebut. 

Meskipun tidak dapat memenangkan Piala Dunia, Figo meyakini timnya akan melaju lebih jauh ketimbang partisipasi terakhir Brasilnya Eropa (julukan Portugal) di Piala Dunia yaitu babak grup pada perhelatan 1986.

Namun, tak dinyana, Portugal gagal total di Piala Dunia 2002. Berada di Grup D bersama tuan rumah Korea Selatan, Amerika Serikat serta Polandia, Portugal harus rela tersisih di fase grup. Peringkat ketiga klasemen dengan nilai akhir tiga, tentu bukan hasil yang menggembirakan.  

Singkat cerita, Piala Eropa 2004 pun tiba. Terasa spesial lantaran tuan rumah adalah Portugal. Ekspektasi tinggi publik disertai rasa penasaran generasi emas menjadi jawara, membuat tim tampil menggebu.  

Yunani, Spanyol maupun Rusia, ditaklukkan di fase grup. Pada perempat final, giliran Inggris yang jadi korban. Sementara pada empat besar, Belanda jadi mangsa Portugal.  

Namun, asa tinggallah asa. Gol tunggal bomber Yunani Angelos Charisteas pada babak final mengubur impian Portugal. Meskipun demikian, sebagaimana dijelaskan di awal, menembus final Piala Eropa tentu jadi pencapaian terbaik Portugal sepanjang sejarah.  

Setelah itu, satu persatu penggawa Portugal pensiun. Hanya tersisa Figo yang membimbing para penggawa muda. Salah satunya adalah megabintang Cristiano Ronaldo yang ketika itu masih bermain untuk Manchester United.

Kegemilangan Ronaldo harus diakui menjadi kunci sukses Portugal bermain menawan di Piala Dunia 2006 Jerman. Namun, lagi dan lagi, langkah Brasilnya Eropa terhenti di semifinal. Kembali, Prancis menghentikan langkah Portugal via gol tunggal Zidane.  

Setelah itu, bermunculan tim-tim yang dijuluki generasi emas. Tidak hanya di sepak bola, melainkan di cabor lain semisal bola basket. Tim nasional basket Argentina (2002-2012) hanya satu contoh.

Keberhasilan meraih medali emas Olimpiade 2004 merupakan bukti sahih. Sukses itu diikuti keberhasilan Manu Ginobili dan kawan-kawan merebut medali emas FIBA Diamond Ball 2008. Masih banyak deretan prestasi yang diraih Argentina.

Selain Portugal, di sepak bola terdapat contoh lain tim yang dijuluki generasi emas yaitu Inggris (2001-2010). Akan tetapi, sebagaimana Portugal, tak satu pun prestasi kinclong yaitu sebagai juara di Piala Eropa maupun Piala Dunia, berhasil ditorehkan. Pencapaian terbaik tim yang diperkuat David Beckham, Steven Gerrard, Frank Lampard hingga Gary Neville, hanyalah perempat finalis.  

Seperti di Piala Eropa 2004 maupun Piala Dunia 2006. Bagi Neville, sebutan generasi emas hanyalah sensasi karangan media.  Di samping itu, frasa tersebut juga merupakan bagian dari komersialisasi tim.  

Imbasnya, beban pemain bertambah berat lantaran senantiasa dituntut memenangkan sebuah turnamen. Ketika pemain gagal, apa yang terjadi? Tentu saja hujatan demi hujatan dilontarkan publik. Tak terkecuali dari media itu sendiri.  

"Jika orang bertanya, apa penyesalan terbesar Anda sepanjang karier? Jawaban saya tidak akan pernah berubah. Inggris (karier di tim nasional)," ujar Neville, bek legendaris Manchester United dilansir the Telegraph. Terkini, sematan generasi emas berada di pundak tim nasional Belgia.

Tidak mengherankan. Apalagi, skuat inti Belgia sungguh memesona. Deretan nama semisal Eden Hazard (Chelsea), Kevin De Bruyne (Manchester City), Radja Nainggolang (AS Roma) hingga Romelu Lukaku (Everton), tentu akan membuat jeri lawan-lawan mereka. Ketika Piala Dunia 2014 Brasil, mereka mampu menembus perempat final sebelum ditaklukkan Argentina satu gol tanpa balas.  

Turnamen terdekat adalah Piala Eropa 2016. Belgia telah memastikan diri lolos ke Prancis, tempat perhelatan tahun depan. Menarik untuk dinanti, apakah Setan Merah, julukan Belgia, mampu menorehkan prestasi tertinggi sepanjang sejarah negeri tersebut? Kita nantikan bersama apakah mitos dan kenyataan berkorelasi positif untuk tim nasional Belgia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement