REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Perseteruan antardua kelompok suporter Persib Bandung dan Persija Jakarta sebenarnya sudah terjadi sejak lama. Banyak faktor penyebab yang membuat perseteruan itu menjadi abadi hingga kini.
Berikut adalah catatan dari kolumnis senior Republika.co.id, Abah Alwi, tentang perseteruan dua kelompok suporter melegenda di Tanah Air ini yang terjadi pada masa lampau.
Dahulu dukungan supoter kepada klub sungguh luar biasa. Hal yang menarik, dukungan itu justru bisa berbalik kritik tajam buat para pemain jika tak tampil prima. Tak sedikit pemain yang mendapat ejekan dan cemooh dari para suporternya.
Di dekade 1960-an, atribut Persija bukanlah berwarna oranye, seperti sekarang. Dulu atribut kebanggaan klub Ibu Kota ini berwarna merah. Suporter Persija ini menjadi salah satu kelompok yang solid dan besar. Umumnya, suporter Persija ini kerap mengalami bentrok dengan para pendukung dari klub Persib Bandung, PSM Makassar, maupun PSMS Medan.
Memasuki 1970-an, perilaku suporter klub di Indonesia mulai masuk para perilaku chauvinisme. Chauvinisme ini merujuk pada istilah yang digunakan pada kesetiaan ekstrem terhadap suatu pihak atau keyakinan tanpa mau mempertimbangkan pandangan alternatif.
Pada rentang waktu inilah, setidaknya chauvinisme suporter kian menguat. Konflik pun kerap bermunculan dalam setiap pertandingan. Salah satu bentuk nyata chauvinisme itu karena fanatisme kedaerahan yang sangat kuat di antara kelompok suporter klub.
Saya melihat pada masa itu suporter Persija sangat beruntung. Sejumlah fasilitas yang didapat sangat baik, bahkan lebih baik dari suporter klub manapun. Inilah yang mungkin memicu terjadi kecemburuan dari daerah lain.