Sabtu 26 Dec 2015 07:31 WIB
Catatan Akhir Tahun Olahraga

Rapor Merah Sepak Bola Indonesia

Suporter Timnas Indonesia
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Suporter Timnas Indonesia

Oleh: M. Akbar

Redaktur Bola Republika.co.id

Nyaris tak ada yang dapat dibanggakan dari pentas sepak bola nasional sepanjang tahun ini. Tahun 2015 akan tercatat dalam sejarah sepak bola negeri ini sebagai periode terkelam sepanjang sejarah.

Andai pendiri PSSI Soeratin Sosrosoegondo masih hidup, boleh jadi ia akan marah dan menangis.

Gara-gara ulah segelintir elite negeri ini yang saling berebut kuasa, sepak bola Indonesia telah dikucilkan dari pentas sepak bola internasional. Inilah kali pertama sepanjang sejarah negeri ini merdeka, FIFA membekukan status keanggotaan Indonesia.

Penanda rapor merah sepak bola Indonesia ini juga semakin tampak melalui indikator peringkat FIFA. Berdasarkan penilaian yang dirilis awal Desember ini, Indonesia melorot ke urutan ke-179. Peringkat ini menjadi yang terburuk dalam dua dekade terakhir. Ah, sungguh memalukan!

Awalnya saya sepakat agar PSSI direformasi total. Sikap kepala batu pengurus PSSI memang perlu dibenturkan agar mereka mau mengikuti semangat reformasi; transparansi! Selama ini para pengurus PSSI selalu berlindung dalam Statuta FIFA ketika didesak publik untuk bersikap transparan dalam urusan uang dan tata kelola sepak bola di negeri ini.

Tapi sungguh menyesakkan, upaya mereformasi PSSI justru tidak memberikan hasil seperti yang diharapkan. Kementerian Pemuda dan Olahraga (kemenpora) yang menjadi pihak paling bertanggungjawab dalam upaya mereformasi induk organisasi sepak bola Indonesia justru terjebak dalam dagelan politik yang tak lagi lucu.

Tengoklah bagaimana kerja yang dihasilkan Tim Sembilan maupun Tim Transisi. Bicaranya saja ingin membenahi sepak bola dan membongkar praktek mafia sepak bola. Hasil yang diberikan justru hanya menjadi pepesan kosong dengan beragam retorika politis yang dituangkan di atas kertas rekomendasi. Gaya semacam ini sesungguhnya kerap dilakukan para politikus busuk ketika mereka tak berdaya melawan mafia yang sudah menggurita.

Uang negara yang sudah disedot untuk mendanai kerja Tim Sembilan selama empat bulan justru hanya menjadi sia-sia. Maaf, saya menyebutnya sia-sia karena memang tidak ada hasil kongkret yang diperlihatkan dari kerja Tim Sembilan. Tak ada keberanian dari tim ini untuk membongkar praktek mafia bola. Bukankah praktek busuk tersebut sesungguhnya menjadi akar masalah dari bobroknya prestasi sepak bola nasional selama ini?

Padahal nama-nama pelaku pengatur skor sudah pernah terungkap ke publik. Tapi sampai kini tak ada kejelasannya dalam ranah hukum. Ini sungguh berbeda dengan upaya membongkar bobrok di tubuh FIFA. Orang-orang busuk di FIFA justru berhasil ditangkap pihak kepolisian tanpa harus membubarkan atau membekukan organisasinya.

Lalu hasil yang tak jauh berbeda juga ditunjukkan oleh Tim Transisi. Kerja tim ini diharapkan pemerintah bisa melakukan persiapan teknis untuk melakukan perbaikan dalam tata kelola sepak bola di negeri ini. Namun sungguh sayang, kerja tim ini justru hanya bisa mengklaim kerja pihak lain yang ingin menggelar turnamen.

Contoh tersebut bisa dilihat pada tahap awal persiapan Piala Presiden. Mahaka Sport and Entertainment yang menjadi operator turnamen ini pernah merasakan ulah seorang anggota Tim Transisi yang dengan lantang mengklaim kalau Piala Presiden itu diselenggarakan oleh pemerintah.

Namun publik tentunya akan bisa menakar kadar profesionalisme dari kinerja Tim Transisi ini. Setidaknya ketika tim ini menjadi penyelenggara turnamen Piala Kemerdekaan. PSMS yang menjadi juara ternyata diminta untuk bersabar sekitar 1,5 bulan untuk mendapatkan hadiah. PSMS juara Piala Kemerdekaan pada 13 September namun baru mendapatkan pencairan hadiah pada 23 Oktober 2015. Itupun setelah mereka cawe-cawe ke media.

Lebih mengherankan, dana hadiah yang diberikan untuk PSMS sebesar Rp 1,5 miliar ini ternyata harus merogoh dari kocek uang rakyat yang terhimpun dalam dana APBN. Jika dibandingkan dengan penyelenggara Piala Presiden, rasanya sungguh jauh berbeda. Persib Bandung yang menjadi juara Piala Presiden terlihat lebih berkelas ketika mendapatkan hadiah, publikasi media, maupun sambutan dari Presiden Joko Widodo.

Usai menjadi juara, skuat fullteam Persib mendapat undangan berkunjung ke istana untuk bertatap muka dengan presiden. Lalu sambutan publik Jawa Barat juga begitu meriah seperti halnya Persib menjuarai Indonesia Super League (ISL) 2014. Sebaliknya kehambaran dialami pada pemberitaan maupun apresiasi yang diberikan kepada PSMS sebagai jawara Piala Kemerdekaan.

Konflik yang Memuncak

Tahun ini, tercatat konflik yang terjadi antara PSSI dan Kemenpora sebagai yang terberat secara dampak. Pada 18 April, bubuhan tandatangan Imam Nachrawi sebagai menteri Pemuda dan Olahraga (menpora) menjadi saksi sejarah dibekukannya keorganisasian PSSI. Secara hukum, surat keputusan (SK) Pembekuan PSSI itu dinilai cacat hukum.

Ini terlihat dari putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang telah memenangkan gugatan pihak PSSI kepada kemenpora. Walau dua lembaga hukum telah menganulir SK Menpora, namun tak ada sama sekali upaya memperbaiki diri dari pihak pemerintah.

Sebaliknya, PSSI juga bersikap keras kepala. Berdalih mendapat intervensi pemerintah, PSSI juga membekukan seluruh kompetisi. Padahal akar masalahnya hanya sederhana. Persebaya Surabaya dan Arema Cronus menjadi dua klub yang diminta oleh Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI) untuk melengkapi persyaratan legalitas hukumnya sebagai tim yang berkompetisi di Indonesia Super League (ISL) 2015.

Namun kedua klub tersebut mengabaikan permintaan BOPI. Kedua klub ini tak bisa memenuhi persyaratan karena mereka masih menyisakan permasalahan internal. Permasalahan itu bermuara dari konflik yang pernah melanda sepak bola Indonesia sekitar lima tahun silam. Saat itu sempat lahir kompetisi Indonesia Premier League (IPL) sebagai tandingan dari ISL.

Penghentian kompetisi oleh PSSI telah membuat sejumlah pemain kehilangan pekerjaan. Tak sedikit di antara pemain profesional yang harus banting setir pekerjaan. Ada yang menjadi calo hingga driver GoJek demi menyambung hidup. Meski ada turnamen yang digelar oleh Mahaka namun sesungguhnya hal itu hanya bersifat sementara dan parsial.

Konflik inipun sepertinya masih akan terus berlanjut hingga tahun depan. Kedatangan perwakilan FIFA dan AFC pada tahun ini juga tidak membuat tensi konflik dua institusi ini menjadi mereda. Sebaliknya, kemenpora dan PSSI masih pamer ego paling berkuasa. Ini terlihat dengan belum adanya sinyal sepakat untuk melakukan rekonsiliasi yang diminta FIFA melalui lembaga Ad Hoc Reformasi PSSI.

Jika dua elite institusi ini tetap tidak mau bersepakat untuk rekonsialiasi maka bersiaplah tahun depan sepak bola Indonesia akan bisa lebih buruk lagi. Siapa yang paling rugi? Tentunya bukan para elite yang sedang bersikut kuasa. Kerugian terbesar pastinya akan dialami langsung oleh para pemain dan pecinta sepak bola yang merindukan kompetisi bisa kembali bergulir di negeri ini.

Selamat berkonflik panjang pada tahun ini, wahai para elite! Biarlah kalian akan dicatat ke dalam sejarah sebagai pelaku yang telah membawa sepak bola negeri ini berada dalam posisi terburuk sepanjang negeri ini merdeka.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement