Rabu 03 Feb 2016 22:06 WIB

Kerinduan Bersama

  Pemain Mitra Kukar (kuning) berselebrasi setelah laga Final Piala Sudirman yang digelar di Jakarta, Ahad (24/1). malam.
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Pemain Mitra Kukar (kuning) berselebrasi setelah laga Final Piala Sudirman yang digelar di Jakarta, Ahad (24/1). malam.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Frederik Bata   

Twitter: @BataEddy

Terik mentari terasa menyengat di area Gelora Bung Karno (GBK). Stadion utama milik tim nasional Indonesia itu dibanjiri pengunjung.

Pada akhir pekan lalu, GBK dipakai sebagai tempat berlangsungnya final Piala Jendral Sudirman (PJS). Dua tim yang bertemu di laga puncak bernama Mitra Kukar dan Semen Padang. Tampak di seputaran arena berkapasitas 88.083 kursi itu, berjubel pendukung kedua kubu.

Warna merah ciri khas supporter Kabau Sirah mendominasi. Di beberapa titik pemakai kostum kuning pertanda penggemar Kukar menimpali. Ada juga warga Jakarta  datang mencari hiburan.

Antrean mengular di sejumlah loket pembelian tiket kira-kira seperempat lapangan bola panjangnya. Para penikmat si kulit bundar berpanas-panasan  demi selembar kertas. Tak jarang beberapa kelompok yang sudah masuk, mengabadikan momen di seputaran stadion.

Senyum tersungging dari wajah mereka. Terlihat penggemar laskar Minang dan Naga Mekes sudah tak sabaran. Euforia ditampilkan ketika penonton dari segala usia berdatangan.

Kemeriahan berlanjut ke dalam. Lautan merah dan kuning menghiasi sektor demi sektor tempat duduk. Pelancong dari Sumatera Barat, Kalimantan Timur, dan arek-arek ibu kota terus bernyanyi dan menari. Hujan pun tak kuasa menahan.

Laga berlangsung sesuai rencana. Hingga pluit akhir berbunyi, Mitra Kukar menyudahi duel dengan skor 2-1. Trofi PJS jatuh ke tangan laskar Naga Mekes.

 

Itulah cerita singkat pengamatan saya ketika berkesempatan hadir pada momen itu. Sebagai penikmat bola saya terlarut. Saya menyaksikan ribuan orang berbondong-bondong ke Senayan meski cuaca tak bersahabat.

Dari situasi tersebut, saya berkesimpulan masyarakat Indonesia tak bisa dipisahkan dari sepak bola. Bukan cuma Eropa dan Amerika Selatan jika sudut pandangnya dari segi animo penonton. Kalau bicara teknis pemain, beda persoalan.

Lantas, apa yang diharapkan sebagai pemuas hasrat jika kompetisi kita mati suri? Semua menjadi korban. Pemain, klub-klub sepak bola, timnas, bakat-bakat muda, dan tentunya penonton.

Turnamen PJS, Piala Kemerdekaan, atau Piala Presiden yang sudah berlangsung beberapa bulan lalu tak bisa dijadikan obat. Itu hanya pelepas dahaga sesaat, sekelebat hilang seiring laga puncak digelar.

Lebih dari itu, jika melihat keramaian di GBK, saya menangkap ada kerinduan masyarakat akan sebuah kompetisi formal. Tidak peduli tim mana juaranya, yang penting setiap pekan disuguhi pertandingan.

Sebuah ide cemerlang lahir dari benak ketua Steering Commitee (SC) Piala Presiden Erick Thohir. Ia berencana menggelar lagi event tersebut pada 2016. Presiden Joko Widodo pun menyetujui.

Kendati demikian, Erick berharap ada baiknya jika dibarengi dengan bergulirnya Liga Super Indonesia (ISL). Sehingga, turnamen PP bakal diformat layaknya Piala FA di Inggris, Copa del Rey di Spanyol, atau Coppa Italia.

Pesan pria yang juga menjabat sebagai ketua Komite Olimpiade Indonesia (KOI) itu jelas terbaca. Semua pemangku kepentingan harus menyudahi konflik horizontal. Itu jalan satu-satunya jika ingin menggelar ISL.

Bapak-bapak di PSSI dan Kemenpora tentu menyadari situasi ini. Semua memiliki hati nurani. Sampai kapan pun kita akan terus disanksi FIFA kalau kalian tak segera menemukan solusi bersama.

Ayolah, kami anak negeri merasa jengah. Kami ingin timnas bermain di level internasional. Bangun lagi kompetisi dengan menaati kode etik semestinya.

 

Percayalah, panas dan hujan tak jadi halangan. Masyarakat butuh tontonan. Duel berkelas di lapangan hijau selalu menjadi bagian dari negeri ini yang organisasi sepak bolanya telah berumur 86 tahun.

[removed][removed]

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement