Sabtu 28 Jan 2017 23:27 WIB

Keajaiban Istanbul, Pengakuan Cafu, dan Perayaan Prematur Penggawa Milan

Rep: Muhammad Iqbal/ Red: Andri Saubani
Liverpool saat menjuarai Liga Champions pada 2005.
Foto: EPA/Daniel Dal Zennaro
Liverpool saat menjuarai Liga Champions pada 2005.

REPUBLIKA.CO.ID, "Kami pikir semua sudah berakhir. Tapi ternyata tidak demikian." Kutipan itu merupakan laporan Liverpool Echo selepas partai puncak Liga Champions 2004/2005 antara Liverpool kontra AC Milan. Penggemar fanatik sepak bola tentu tak akan dapat melupakan final di stadion Olimpiade Ataturk, Turki, 25 Mei 2005 tersebut. Wajar mengingat final yang dimenangkan Liverpool itu penuh dengan rentetan drama.

Drama dimulai dari keunggulan cepat Milan via sang legenda, Paolo Maldini, saat laga berusia satu menit. Setelah itu, tambahan dua gol bomber andal Hernan Crespo. Skor babak pertama berakhir tiga gol tanpa balas bagi Milan.

Kondisi ini membuat Maldini dan kawan-kawan begitu yakin bakal meraih juara untuk ketujuh kalinya. Namun, segalanya berubah pada babak kedua, Tak dinyana, Liverpool menyamakan kedudukan menjadi 3-3 melalui kapten Steven Gerrard, Vladimir Smicer, serta Xabi Alonso.

Skor tersebut bertahan hingga akhir laga. Saat dilakukan perpanjangan waktu, kedudukan juga masih sama hingga berlanjut ke adu penalti. Ketika tos-tosan, dewi fortuna nyatanya lebih memihak the Reds.

Sepakan Andriy Shevchenko sukses dimentahkan kiper Jerzy Dudek. Liverpool memenangi Piala/Liga Champions kelima sepanjang sejarah. Kemenangan yang dikenal dengan sebutan ‘Miracle of Istanbul’ ini disebut-sebut sebagai salah satu momen terbaik sepanjang sejarah klub yang bermarkas di Anfield tersebut.

Pada sisi lain, kekalahan jelas mengecewakan para penggawa Milan yang tampil. Salah satunya adalah Cafu, bek kanan yang rajin menyerang. Ia membenarkan bahwa para pemain Milan telah merayakan kemenangan di ruang ganti saat jeda babak pertama.

"Itu memang benar," ujar Cafu dalam wawancara dengan Four Four Two seperti dikutip, Sabtu (28/1). Pemain asal Brasil ini menjelaskan, tiga gol yang dibukukan I Rossoneri menghadapi Liverpool, sebuah tim berkelas dari sisi taktik, membuatnya yakin Milan bakal juara. "Kami mengira inilah hari kami dan kami pun santai," ujarnya.

Namun, kondisi berubah pada babak kedua. Berawal dari masuknya legenda Jerman Didi Hamann, permainan The Reds makin menjadi-jadi. Dua gol melalui Gerrard dan Smicer, menurut Cafu, membuat Milan merasakan dampak.

Ketika gol ketiga dibukukan Alonso, Cafu berkata, "Kami tidak bisa mempercayai apa yang terjadi." Menurut mantan kapten timnas Brasil ini, kekalahan bukan sepenuhnya kesalahan Milan. Sebaliknya, Liverpool memang layak melakukan come back.

"Saya begitu mengagumi Liverpool. Mungkin tim lain tak akan menunjukkan karakter demikian apabila tertinggal tiga gol pada babak pertama," kata Cafu. Ia mengaku tanda kekalahan sudah dirasakan jauh sebelum adu penalti, yaitu saat peluang emas Shevchenko pada masa perpanjangan waktu dimentahkan Dudek.

Setelah final 2005, Milan dan Liverpool kembali berjumpa pada partai puncak final Liga Champions 2007. Ketika itu, I Rossoneri sukses membalaskan dendam setelah mengalahkan The Reds dengan skor tipis 2-1. Bomber Pippo Inzaghi menjadi pahlawan berkat dua golnya.

Namun demikian, Cafu mengaku tidak memikirkan balas dendam sama sekali jelang laga. Fokusnya bersama para penggawa Milan lainnya seperti Maldini, Alessandro Costacurta, dan Serginho merasa itu adalah kesempatan terakhir menjadi juara. Apalagi usia mereka sudah di atas 35 tahun.

"Kami tahu momen itu kesempatan kami untuk meraih juara. Tapi, kami sangat-sangat tenang," ujar Cafu. Berbeda dari final sebelumnya, feeling pemain yang pernah membela AS Roma ini tepat. Cafu yakin Milan bakal juara setelah Pippo mencetak gol memanfaatkan assist Andre Pirlo. "Saya tahu, kali ini adalah milik kami," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement