Rabu 26 Apr 2017 20:47 WIB

Antara KTT Asean Ke-30 dan Laut Cina Selatan

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: M.Iqbal
Citra satelit terbaru menunjukkan pembangunan hanggar militer di Karang Subi, Laut Cina Selatan oleh Cina.
Foto: The New York Times
Citra satelit terbaru menunjukkan pembangunan hanggar militer di Karang Subi, Laut Cina Selatan oleh Cina.

REPUBLIKA.CO.ID,Menjelang KTT Asean ke-30 dan ulang tahun Asean ke-50, negara-negara Asia Tenggara akan kembali dihadapkan dengan masalah menjengkelkan, yaitu sengketa Laut Cina Selatan (LCS). Terlepas dari meningkatnya ketegangan di Semenanjung Korea, Asean justru tengah menghadapi posisi yang sulit dalam sengketa ini.

Pertemuan Tingkat Menteri Luar Negeri Asean pada Februari lalu di Pulau Boracay, Filipina, menyatakan KTT Asean tidak akan mengagendakan pembahasan mengenai LCS. KTT Asean hanya fokus pada enam isu, yaitu orientasi terhadap rakyat Asean, keamanan dan stabilitas di wilayah, keamanan dan kerja sama maritim, pertumbuhan inovasi yang inklusif, Asean sebagai model regionalisme, dan Asean sebagai pemain global menyongsong ulang tahun emas Asean.

Namun, menurut Profesor Society for Indian Ocean Studies Baladas Ghoshal, Asean tidak dapat menghindari masalah LCS. Sebab, paragraf terakhir pernyataan pers yang dikeluarkan di Boracay adalah tentang LCS.

Pernyataan itu mencatat perlunya mempertahankan dialog untuk meredakan ketegangan di wilayah ini. "Tidak diragukan lagi, dialog adalah cara yang paling realistis untuk mengelola perselisihan mengenai Laut Cina Selatan," kata Ghoshal seperti dilansir Economic Times, hari ini.

Ia mempertanyakan parameter apa yang akan digunakan Asean untuk berdialog dengan Cina. Cina memilki sikap keras terhadap masalah LCS dengan mengklaim bahwa masalah ini adalah masalah kedaulatan dan hak maritim Cina.

Negeri Tirai Bambu telah mengubah status quo di LCS dengan membangun pulau-pulau buatan, membangun instalasi militer, dan mencapai supremasi yang tidak terkendali di wilayah tersebut. "Baru-baru ini Cina menghina sekutunya, Presiden Filipina Rodrigue Duterte, yang pada awal April mengumumkan rencananya untuk menaikkan bendera Filipina di Pulau Thitu dan membentenginya dengan barak," ujar Ghoshal.

Di bawah tekanan Cina, Duterte memutuskan untuk membatalkan hal itu. Duterte kemudian justru menyalahkan Amerika Serikat atas ketegangan maritim di LCS karena tidak melakukan intervensi untuk menghentikan pembangunan pulau-pulau buatan di zona ekonomi eksklusif Filipina.

Ia mengatakan, Beijing juga telah berusaha untuk melakukan dialog terkait klaim negara-negara Asean dan mengambil inisiatif diplomatik baru. Cina mungkin akan mendorong negara-negara pesisir LCS untuk membangun kerja sama baru, yang berbasis di Boao, di Pulau Hainan untuk membahas masalah keamanan yang terkait dengan LCS. "Mekanismenya akan berada di luar sistem keamanan Asean dan akan dipimpin oleh Cina," ujar Daljit Singh, pakar isu strategis terkemuka dari Singapura.

Cina telah menolak putusan Pengadilan Internasional di LCS dan melanggar semua norma serta praktik di bawah hukum internasional. AS, satu-satunya kekuatan yang bisa melawan ambisi Beijing di LCS, hanya menegakkan hak kebebasan navigasi dan kadang-kadang memprovokasi dengan mengirim kapal militernya ke wilayah itu.

Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson telah memperingatkan Cina agar tidak melakukan militerisasi di LCS. Ia bahkan mengancam akan memblokir akses Beijing ke wilayah tersebut.

Namun, pemerintahan Presiden AS Donald Trump mulai melunak ketika AS dihadapkan dengan tantangan nuklir Korea Utara. AS ingin Beijing menekan Pyongyang untuk meninggalkan program nuklirnya sehingga LCS mulai kurang mendapat perhatian Negeri Paman Sam.

Ghoshal menambahkan, dalam ketidakpastian sengketa di wilayah LCS, kerja sama strategis antara negara-negara regional Asean menjadi sangat penting. Kerja sama antara negara-negara dengan kekuatan menengah, baik dalam format bilateral atau mini lateral, dapat berkontribusi pada terciptanya jaringan keamanan berprinsip yang pernah diusulkan oleh pemerintahan Presiden AS Barack Obama.

"Salah satu hasil penting dari kerja sama strategis dan koalisi negara kekuatan menengah tersebut adalah kemauan dari Indonesia dan Malaysia untuk menerima India sebagai mitra untuk berpatroli di Selat Malaka, satu titik masuk ke Laut Cina Selatan," ujar Ghoshal.

Cina menganggap isu LCS sebagai isu bilateral dan tidak ingin Asean sebagai organisasi, ikut terlibat dalam hal ini. Namun, ada kode etik LCS yang ditandatangani oleh menteri luar negeri semua anggota Asean.

Selain itu, menurut Ghoshal, Cina tahu bahwa para anggota Asean yang terlibat sengketa teritorial akan melakukan pertemuan tertutup untuk mencapai kesepakatan yang sama, sebelum mereka berunding dengan Cina. Cina selalu menentang posisi Asean dan membagi Asean ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok negara yang ikut berselisih dan yang tidak.

Filipina, yang akan menjadi tuan rumah KTT Asean tahun ini, bagaimanapun telah mengatakan bahwa mereka ingin memastikan kerangka kerja kode etik LCS. Akan tetapi, melihat bagaimana Beijing mengonsolidasikan posisinya di LCS, Ghoshal mengatakan sulit ada kesepakatan kode etik pada Juli mendatang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement