Oleh Febrian Fachri
Wartawan Republika
Indonesia masih memakai cara naturalisasi untuk meningkatkan performa tim nasional. Yang terbaru adalah pemain senior asal Montenegro Ilija Spasojevic.
Bekas pemain Persib Bandung yang sekarang membela Bhayangkara FC itu mendapatkan status WNI bulan lalu. Belum genap sebulan menjadi warga negara Indonesia, pemain yang akrab disapa Spaso itu sudah mendapatkan panggilan membela Indonesia.
Pelatih Luis Millas Aspas memanggil Spaso karena performa bagus yang membawa Bhayangkara FC menjadi kampiun Liga 1 2017. Debutnya terjadi pada Sabtu (18/11) di Stadion Wibawa Mukti, Bekasi ketika Garuda beruji coba dengan Suriah U23.
Di debutnya itu, Spaso bermain starter dan tampil selama 60 menit. Sayangnya, antusiasme striker 30 tahun itu belum bisa melepaskan dahaga pecinta timnas akan kemenangan.
Indonesia menelan kekalahan 1-0 dari negara yang sedang berkecamuk perang tersebut. "Ya kita ketahui Suriah adalah tim yang kuat. Negara yang hampir lolos ke Piala Dunia. Mereka punya teknik yang bagus," kata Spaso usai laga, dikutip dari laman resmi Liga Indonesia, Ahad (19/11).
Kegagalan Spaso memberi warna positif untuk Timnas mendapat sorotan dari pengamat sepak bola Indonesia Rayana Djakasurya. Menurut Rayana, Indonesia terlalu cepat melakukan panggilan mengenakan kostum merah putih kepada Spaso.
Rayana menyebut seharusnya tim pelatih tidak harus cepat terlena dengan penampilan Spaso di setengah musim Liga 1. "Harusnya dilihat dulu backgroun dia. Selama ini, dia main di level apa, main di mana. Kalau saya lihat level dia emang sulit bergabung dengan tim kita (Indonesia)," kata Rayana kepada Republika.
Rayana tak menyalahkan solusi dengan cara naturalisasi yang masih dipakai Indonesia. Tapi, menurut dia, untuk memberi kesempatan bermain kepada pemain asing, serharusnya melewati tahapan seleksi yang ketat.
Tim pelatih harus benar-benar yakin bahwa si pemain akan membawa perubahan signifikan untuk permainan tim. Apalagi, Rayana mengatakan, sistem persepakbolaan Indonesia masih dalam kondisi buruk, baik dari cara bermain sampai kepada organisasi pengelolaan sepak bola.
"Pemain sekelas Ezra Walian yang sudah menimba ilmu di Ajax (Amsterdam), kita tahu skema di Ajax sangat bagus tapi tetap saja Ezra kesulitan saat bermain dengan tim nasional kita. Makanya Radja Naiggolan tidak mau saat ditawari main di Indonesia karena sistem kita belum profesional," tambah Rayana.
Gelombang naturasliasi di Indonesia sudah dimulai sejak 2010. Sederet pemain asing dari berbagai negara diberi paspor dengan lambang Garuda agar bisa memperkuat tim nasional.
Sebut saja Cristian Gonzales, Raphael Maitimo, Sergio van Dijk, Victor Igbonefo, Stefano Lilipaly dan lain-lain tak satupun memberikan perkembangan berarti, apalagi prestasi bagi Indonesia.
Prestasi terbaik hanya dua kali menjadi runner up di Piala AFF. Gonzales membawa Indonesia peringkat dua di Piala AFF 2010. Terakhir, Lilipaly meraih prestasi yang sama pada 2016.
Ezra yang digadang-gadang juga menjadi penyerang tunggal zaman sepak bola modern Indonesia juga melempem bersama Timnas U22. Pemain yang kini memperkuat klub divisi dua Liga Belanda Almere City itu hanya membawa Indonesia juara tiga di SEA Games 2017.