Senin 25 Dec 2017 08:31 WIB
Evaluasi 2017

Ketua Umum PSSI Ingin 'Bunuh Diri'

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Endro Yuwanto
 Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi (kanan) dan Ketua PSSI Edy Rahmayadi (kiri) di kantor Kemenpora.
Foto: Republika/Bambang Noroyono
Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi (kanan) dan Ketua PSSI Edy Rahmayadi (kiri) di kantor Kemenpora.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Bambang Noroyono

Prestasi tim nasional (timnas) dan kondisi sepak bola Indonesia sepertinya mendapat nilai minus bagi pemerintah saat ini. Ketua Umum PSSI Letnan Jenderal (Letjen) Edy Rahmayadi sampai mengungkapkan keinginannya bunuh diri ketika Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menanyakan soal kondisi sepak bola di Tanah Air dan juga prestasi timnas Indonesia.

Entah keinginan 'harakiri' Edy itu fakta atau sekadar guyonan saja. Satu yang pasti, intonasi cerita dari mantan Pangdam Bukit Barisan itu membuat seisi ruangan lokasi Malam Penghargaan Liga 1 2017, Jumat (22/12) malam, terbahak.

Edy mengawali cerita itu dari soal kompetisi seluruh liga di Indonesia. Menurut dia, Liga 1 semestinya menjadi etalase pembentukan skuat Garuda. Namun ternyata, Liga 1 belum menghasilkan pemain-pemain yang mampu membuat skuat asuhan Luis Milla Aspas menguasai Asia Tenggara.

Padahal, sebagai ketua federasi usai pembekuan PSSI, Edy mengaku mencoba menghentikan paceklik prestasi. Khusus timnas Indonesia, Edy kembali menegaskan agar memperkuat level usia 23 (U-23). Karena itu, semasa Liga 1 2017, ia mendesak Exco PSSI setuju agar klub-klub peserta kompetisi utama memainkan lima pemain dari barisan U-23.

Aturan itu, Edy mengatakan, demi mencari pemain muda. Aturan itu ditentang sejak awal. Namun menjelang pungkas liga, regulasi U-23 kembali dihapuskan. Klub-klub peserta Liga 1 kembali menentang gonta-ganti regulasi di tengah kompetisi berjalan.

Ketua Umum PSSI ini mengatakan, gara-gara regulasi U-23 itu, banyak kenyinyiran terhadapnya. Pun juga pemberitaan yang menilai kepemimpinannya sebagai diktator dan otoriter. "Itulah tentara kalau jadi ketua umum PSSI," kata Edy menirukan ungkapan orang-orang terhadapnya.

Padahal, kata Edy, pemaksaan darinya tak bukan cuma upaya memenuhi janji meninggikan prestasi timnas. Jenderal bintang tiga itu tak mau masa kepemimpinannya menyimpan catatan buruk prestasi. "Inilah nanti yang bolak-balik kita (PSSI) dipanggil ke Istana Negara (presiden)," ungkapnya.

Edy mengakui, mondar-mandir ke istana itu pun sudah terjadi beberapa kali. Ia tak menceritakan kapan saja Presiden Jokowi memanggil dan menanyakan kondisi sepak bola dan prestasi timnas. Tetapi, kata dia, dalam satu kesempatan di Istana Negara, Jokowi pernah menanyakan tentang situasi sepak bola di Indonesia. "Kenapa mesti begitu. Kenapa masih seperti ini," kata Jokowi seperti ditirukan Edy.

Menurut Edy, pertanyaan Jokowi kepadanya itu memang disampaikan dalam kalimat yang halus pula sopan. "Memang Pak Jokowi itu sebagai presiden juga orang Solo. Bertanyanya kalem," sambung dia.

Tetapi, lanjut Edy, intonasi pun logat bicara dari pertanyaan presiden tersebut mengandung sinisme. "Masih kalah ya Pak Edy," kembali Edy menirukan ucapan Jokowi. "Sambil senyum-senyum dia itu Pak Jokowi," kata dia.

Edy yang juga Pangkostrad itu pun mengaku dibikin tak berkutik. Modal tiga bintang di pundak tentu tak membuat ia merasa pantas membela diri dengan memberikan jawaban yang mengada-ada tentang kegagalan timnas sepanjang 2017 di hadapan presiden. "Aduh. Untung nggak ada air keras di situ. Bisa bunuh diri saya saat itu," kata Edy.

Cerita Edy tentang upaya menenggak air 'kematian' itu, pun mengundang tawa bagi 200-an undangan yang hadir saat Malam Penghargaan Liga 1 ketika itu.

Akan tetapi cerita keinginan Edy untuk bunuh diri di hadapan Presiden Jokowi sebetulnya sindiran terhadap para undangan. Termasuk kepengurusan PSSI. Mereka yang hadir dalam acara tersebut didominasi para pemain bola dan para manajemen klub peserta Liga 1.

Edy mengatakan, percuma saja memoles kualitas liga. Namun prestasi timnas tetap jeblok. Sebab Edy berkali-kali menegaskan, Liga 1 merupakan gudang pemain bagi PSSI membentuk skuat Garuda. Sehebat apapun Liga 1, tapi jika timnas masih seperti ini, tak ada artinya. "Sehebat apapun Bhayangkara FC juara. Sehebat apapun runner-up Bali United. Tapi timnas masih seperti ini tidak ada artinya. Liga 1 output-nya adalah timnas," ujar dia.

Menengok reputasi timnas Indonesia sepanjang 2017 memang bikin kerut jidat. Dari kegagalan timnas U-23 meraih medali emas di SEA Games Malaysia, sampai kegagalan Garuda U-19 meraih juara Piala AFF di Myanmar, pun juga pencapaian buruk U-16 di Piala AFF di Thailand.

Belum lama ini, PSSI pun mengungkapkan kekecewaannya lantaran kegagalan U-19 menjuarai fase grup kualifikasi Piala Asia 2018 di Korea Selatan. Untung saja, Indonesia sebagai tuan rumah membuat Egy Maulana Vikri dan kawan-kawan boleh turun lapangan pada putaran final tahun depan.

Tetapi reputasi bobrok U-19, mendesak PSSI memecat pelatih Indra Sjafri. Masih ada pelipur lara dari U-16 yang tampil sempurna saat kualifikasi Piala Asia 2018 di Bangkok. Skuat asuhan Fakhri Husaini itu lolos ke putaran final pada tahun depan.

Namun tetap saja, paling genting saat ini yaitu, skuat Garuda U-23. Tahun depan, Indonesia U-23 dipastikan sebagai tuan rumah Asian Games 2018. PSSI menebalkan target untuk menembus semifinal. Bidikan Prestasi yang menurut banyak orang terlalu tinggi, bahkan muluk. Tetapi Edy tetap percaya diri dengan target empat besar di Asia tersebut.

Edy memang ngotot tentang target Asian Games. Kengototannya itu sampai diberitakan media-media di Malaysia sana. Di Indonesia, kengototan Edy berdampak bagi masa depan pemain-pemain timnas U-23 yang selama ini berkarier di Liga 1.

Para pemain tersebut terancam tercoret dari skuat Garuda jika nekat hijrah ke Liga Malaysia dan Thailand. Edy tak setuju dengan langkah karier profesional para pemain tersebut dan menghendaki para pemain Garuda U-23 tetap berkompetisi di Liga 1 dan tak perlu ke liga-liga jiran.

Menurut Edy, dengan bermain di liga luar negeri akan membuat program dan rencana pemusatan latihan para penggawa Milla menuju Asian Games menjadi terganggu dan tak pasti. Sebab, tak ada jaminan dari klub-klub di Malaysia membolehkan para penggawa Garuda pulang saat latihan timnas di Indonesia. "Siapapun dia, kalau bangsa memanggil satu pun tak ada yang boleh menolak. Kalau menolak, berarti dia pengkhianat. Kami saat ini butuh pemain," ucap Edy.

Soal larangan karier luar negeri para penggawa Garuda ini, Edy mengaku tak peduli dengan kritikan banyak orang. Termasuk tak acuhnya menjawab kritik Menpora Imam Nahrawi yang meminta PSSI membiarkan Evan Dimas Darmono dan Ilham Udin Armaiyn berseragam Selangor FA, pun juga Ryuji Utomo yang akan berseragam PTT Rayong pada tahun mendatang.

"Saya kalau semakin diributin makin keras kepala saya itu. Siapa pun tak ada peduli saya," ujar Edy. Ia meminta, keputusannya melarang para pemain ke luar negeri mampu dimengerti dan mendapat dukungan.

Sebab, menurut Edy, keputusannya itu demi berjalannya program pelatihan timnas menuju target Asian Games tahun depan. Kata dia, tak lagi mungkin bagi tim pelatih skuat Garuda mencari pemain pengganti jika para penggawanya ditahan klub asing untuk pulang membela timnas Merah Putih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement