Senin 21 May 2018 15:54 WIB

Armani, Inter, dan Mimpi di Kota Milan

Tak ada mimpi yang mustahil untuk diwujudkan di Kota Milan

Gelandang Inter Milan, Matias Vecino merayakan gol ketiga Inter ke gawang Lazio pada laga terakhir Serie A musim ini di Stadion Olimpico, Roma, Senin (21/5) dini hari WIB. Inter menang 3-2.
Foto: Giuseppe Lami/ANSA via AP
Gelandang Inter Milan, Matias Vecino merayakan gol ketiga Inter ke gawang Lazio pada laga terakhir Serie A musim ini di Stadion Olimpico, Roma, Senin (21/5) dini hari WIB. Inter menang 3-2.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Abdullah Sammy

 

Perancang kenamaan Italia, Giorgio Armani awalnya tidak suka ketika pertama kali menginjakkan kaki di Kota Milan. Armani kecil menilai, Milan terlalu besar dan kacau bila dibandingkan dengan kota tempat dia tinggal, Piacenza.

 

Hanya ada dua hal yang membuat Armani kecil suka dengan kota Milan, bioskop dan risotto alla Milanese. Sekitar 75 tahun berselang, Armani tak lagi membenci kota ini. Sebaliknya, rasa cinta Armani pada Milan tak sekadar lagi karena bioskop dan risotto. 

 

photo
Giorgio Armani

 

Cinta Armani pada Milan jadi begitu besar karena dia membuktikan sendiri bahwa kota ini membuka mimpi bagi siapapun yang hendak berusaha. "Milan adalah kota metropolis yang sesungguhnya. Kota yang kuat dan tak mengenal takut, tapi terbuka bagi siapapun dia. Sedikit demi sedikit, saya menyadari bahwa saya bisa menjadi besar di Kota ini," kata Armani seperti dilansir dari laman V Magazine.

 

Armani membuktikan bahwa Kota Milan selalu membuka peluang. Dari seorang anak desa di Piacenza, Armani menjelma menjadi salah satu manusia terkaya di jagad bisnis fashion dunia. 

 

Segala produk berlabel Armani menguasai pasar industri fashion. Walhasil dari Milan, Armani kini mencengkram dunia. Untuk mengabadikan perjalanan Armani yang menguasai dunia dari kota di utara Italia itu, Kota Milan membuka museum yang diberi nama Armani Silos pada 2015 lalu.

 

Tak hanya Armani Silos yang menjadi situs pembuktikan kebesaran Kota Milan. Lebih dari itu, ada Stadion Giuseppe Meazza sebagai pembuktikan tuah Kota Milan.

 

Di Giuseppe Meazza, klub sepak bola bernama Internazionale Milan (Inter Milan) mewakili filosofi Kota Milan yang terbuka bagi masyarakat dunia. Sejak pertama kali berdiri pada 9 Maret 1909, Inter Milan punya filosofi bahwa sepak bola harus membuka kesempatan yang sama pada manusia. 

 

Dari negara manapun dia, Inter Milan selalu membuka kesempatan bagi manusia untuk mewujudkan mimpinya. Ini sama halnya dengan filosofi Kota Milan yang begitu ramah pada orang asing. Data yang dilansir dari laman Wanted Milan mencatat, dari total 3,1 juta penduduk Kota Milan, sekitar 474 ribu di antaranya adalah imigran asal luar Uni Eropa. 

 

Walhasil, Milan jadi kota dengan angka imigran tertinggi. Meski masih meninggalkan masalah sosial, taraf hidup imigran di Milan tergolong cukup baik. Ini terbukti dengan catatan 68 persen dari imigran di Kota Milan mampu meraih pekerjaan.

 

Tak pelak, Milan pun jadi kota internasional di mana harmoni ragam suku, bangsa, agama, dan budaya membaur di satu wilayah. Segala keragaman itu tak membatasi seseorang di Kota Milan untuk mendapat kesempatan yang sama untuk meraih mimpinya. 

 

Di lapangan sepak bola, Inter benar-benar mewakili filosofi dari Kota Milan ini. Sejarah mencatat seorang asal negara tergolong kecil macam Makedonia (Goran Pandev) atau Albania (Rey Manaj) mampu mewujudkan mimpi di dunia sepak bola dengan baju kebesaran biru hitam milik Inter Milan.

 

Bahkan sejak 2013, klub Inter Milan dipimpin oleh orang asal luar Italia, tepatnya dari Indonesia, Erick Thohir. Awalnya banyak yang memandang sebelah mata tentang sepak terjang orang Indonesia yang memimpin salah satu klub terbesar Italia itu. Tapi kini, pertanyaan itu mulai terjawab dengan keberhasilan Inter kembali ke Liga Champions mulai musim depan.  

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement