Selasa 18 Dec 2018 19:10 WIB

Jakmania Viking Bisa Satu Stadion, Asal...

Hal tersebut tidak bisa diwujudkan dalam waktu singkat.

Rep: Hartifiany Praisra/ Red: Israr Itah
Suporter Persija Jakarta, The Jakmania, saat mendukung tim kesayangan mereka.
Foto: Antara/Andika Wahyu
Suporter Persija Jakarta, The Jakmania, saat mendukung tim kesayangan mereka.

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Rivalitas suporter Persib Bandung, Viking Persib Club, dan pendukung Persija Jakarta, Jakmania, memang sudah terlewat batas. Walau perselisihan berlangsung lama, namun bukan berarti bentrok kedua pihak tidak bisa dihentikan.

CEO PT Liga Indonesia Baru (LIB) Risha Adi Wijaya mengaku optimistis seluruh suporter, termasuk Viking dan Jakmania, bisa berada di stadion yang sama. Namun hal tersebut tidak bisa diwujudkan dalam waktu singkat.

Baca Juga

"Kami sebagai operator berharap, siapa pun suporternya, di mana pun tempat bertanding, semua bisa datang untuk menonton, untuk bergembira," kata Risha di Jalan Ir H Juanda, Kota Bandung, Selasa (18/12).

Menurutnya, ada tahapan-tahapan berkesinambungan yang harus dilalui sebelum kedua kubu suporter ini bisa mencair. Di antaranya infrastruktur dan edukasi.

"Edukasi bukan hanya suporter saja yang terlibat, tapi juga edukasi pemain, pelatih, termasuk wasitnya," kata Risha.

Risha mengklaim 90 persen pemicu perselisihan suporter berasal dari lapangan. Sehingga perlu ada kerja sama dari setiap stakeholder untuk memperbaikinya.

Dia mencontohkan bagaimana televisi tetap menyorot perselisihan antarpemain atau dengan wasit. Belum lagi, lanjut Risha, adanya kamera TV yang menyorot flare, lemparan botol, suporter turun ke lapangan, dan teriakan rasialis.

"Ada flare atau turun lapangan, kemudian kalau ribut-ribut suaranya dikeluarkan itu kami larang. Karena itu secara tidak langsung akan terekam di benak pendukung (lawan)," jelasnya.

Ketua Asprov PSSI Jawa Barat Tommy Apriantono menyebut perlu ada tinjauan langsung mengenai kedua kubu suporter ini. Karena meskipun pimpinan suporter sudah membuat perdamaian, namun rivalitas di luar batas ini masih tetap terjadi.

"Tidak pernah diteliti sejauh mana perjanjian itu dijalankan, baik di Viking maupun Jakmania. Kalau sistem itu jalan, pasti tidak mungkin hanya perjanjian di atas kertas," kata Tommy.

Dia mencontohkan bagaimana pasca-tragedi Heysel 1985 antara Liverpool dan Juventus terjadi. Saat itu, Inggris melakukan pendalaman pada perilaku, edukasi, ekonomi, dan pekerjaan para pelaku.

"Sekarang dipelajari dulu, sosiologinya, psikologinya, perlahan-lahan dan itu hanya dua yang terlihat. Harusnya kepolisian dan pemerintah juga terlibat," tegas Tommy.

Karena menurutnya, pemerintah seperti wali kota dan bupati memiliki kekuatan untuk dapat mengendalikan rakyatnya. Sehingga muncul pengaruh untuk menghentikan kedua kubu suporter sehingga mimpi untuk menonton bersama di stadion menjadi hal yang mungkin terjadi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement