REPUBLIKA.CO.ID,PHNOMPENH -- Tim nasional Indonesia U-22 bakal menghadapi Myanmar dalam laga kedua penyisihan Grup B Piala AFF U-22 di Stadion Nasional, Phnom Penh, Kamboja, Rabu (20/2). Laga ini tak ubahnya partai hidup mati bagi kedua negara yang awalnya dijagokan sebagai dua pesaing utama puncak klasemen Grup B.
Tim asuhan Indra Sjafri bermain imbang 1-1 melawan Myanmar pada laga pertama, sedangkan Malaysia terjungkal 0-1 saat menghadapi tuan rumah Kamboja. Praktis kedua tim membutuhkan tiga poin penuh dari laga tersebut jika ingin menjaga asa untuk lolos ke babak semifinal.
Namun, I,ndonesia dibayangi catatan buruk yang dimiliki sang pelatih Indra Sjafri setiap kali menghadapi Malaysia. Dari empat kali pertemuan melawan Malaysia yang dijalani Indra saat menangani Timnas U-19, tiga di antaranya berakhir imbang dan satu lainnya berujung kekalahan.
Pada 2013 dalam turamen HKFA International Youth Football Invitation di Hong Kong, Indonesia hanya bermain imbang tanpa gol. Kemudian di fase penyisihan Grup B Piala AFF U-19 2013, Indonesia ditahan imbang 1-1 oleh Malaysia.
Pemain Timnas U-22 Gian Zola (tengah) diadang pemain Myanmar Nan Hktike Zaw (kedua kanan).
Skor imbang nirgol kembali terjadi dalam pertemuan ketiga Indra melawan Malaysia dalam ajang Trofi Hassanal Bolkiah 2014 di Brunei Darussalam. Ironisnya, hasil terburuk dirasakan dalam pertemuan terakhir Indra melawan Malaysia, yakni kekalahan 1-4 pada fase kualifikasi Piala Asia U-19 2018 di Paju, Korea Selatan.
Namun, noda hitam dalam catatan pertemuan melawan Malaysia tak membuat Indra menanggalkan sikapnya yang sarat optimisme. Indra meyakini pihaknya bahwa Garuda Muda memiliki kelebihan dari sisi moral. Pertama, kondisi mental pemain Malaysia yang gagal memetik poin dari laga perdana. Selain itu, para pemain Indonesia punya waktu istirahat beberapa jam lebih lama.
Hasil imbang melawan Myanmar sebetulnya bukan sesuatu yang bisa dibanggakan, tapi itu tak menganulir keadaan Indonesia sedikit lebih baik dibandingkan Malaysia saat ini.
Kemudian, untuk waktu bermain, ketika melawan Malaysia Indonesia, setidaknya tidak lagi perlu beradaptasi dengan cuaca panas yang dua hari sebelumnya menempa mereka saat menghadapi Myanmar. Sebaliknya, Malaysia mungkin perlu beradaptasi.
Lapangan sintetis nan miris
Stadion Nasional Phnom Penh dibangun pada 1963 ketika Kamboja mempersiapan diri untuk menjadi tuan rumah SEA Games 1964, lantas digunakan juga untuk Pesta Olahraga GANEFO Asia kedua pada 1966. Namun, pada masa rezim Khmer Merah berkuasa, stadion tersebut dialihfungsikan menjadi ladang eksekusi personel maupun tentara pemerintahan sebelumnya.
Pada 2014 lalu wajah stadion itu kembali bersolek berkat program FIFA Goal's Project yang mendukung pengembangan fasilitas sepak bola di negara-negara berkembang. Lantas, tahun lalu, Stadion Nasional menjadi tuan rumah berlangsungnya turnaman dwitahunan Piala AFF (tingkat senior) untuk pertandingan-pertandingan timnas Kamboja yang berakhir dengan kekalahan 0-1 melawan Malaysia dan menang 3-1 atas Laos.
Namun kondisi permukaan lapangan Stadion Nasional seolah tak menyisakan sisa-sisa kegemerlapan sejarahnya.
Pemain Timnas U-22 Gian Zola (kiri) melewati pemain Myanmar Lwin Moe Aung (kedua kiri) dalam pertandingan Grub B Piala AFF U-22 di Stadion Nasional Olimpiade Phnom Penh, Kamboja, Senin (18/2/2019).
Bahkan jika dibandingkan dengan tempat skuat Garuda Muda berlatih sejarak 30 menit jauhnya di Lapangan Kampus American University Phnom Penh, permukaan lapangan Stadion Nasional sangat-sangat buruk.
Secara kasat mata melihat kondisi permukaan rumput sintetis lapangan Stadion Nasional seperti tahap awal proyek perbaikan aspal jalanan di Jakarta. Buruknya kondisi lapangan tak pelak menjadi keluhan seluruh tim, demikian diakui Indra dalam konferensi pers selepas hasil imbang 1-1 kontra Myanmar.
Indonesia juga terlihat bermain dengan sangat tidak nyaman dalam laga tersebut, bola yang memantul dengan arah yang terkadang membingungkan, maupun sulitnya mengukur kekuatan tendangan yang tepat agar bisa memastikan umpan mencapai rekan sendiri.
Pengakuan Witan Sulaiman, Muhammad Rafi Syarahil maupun Muhammad Dimas Drajad agaknya mewakili penilaian rekan-rekannya atas tantangan nomor satu yang dihadapi Indonesia di laga kontra Myanmar, adaptasi lapangan.
Namun semua satu suara, tidak bisa menjadikan kondisi lapangan sebagai alasan.
"Myanmar juga main di lapangan yang sama. Itu bukan alasan," kata Indra.
Hanya, terlepas dari buruknya kondisi lapangan Stadion Nasional, tim besutan Indra juga tidak dibekali pengalaman memainkan pertandingan kompetitif di atas lapangan sintetis.
Tiga laga uji coba yang dilakoni Indonesia di Tanah Air yakni melawan Bhayangkara FC, Arema FC dan Madura United, semua dilakukan di atas lapangan berumput natural.
Apapun itu, sekali lagi, Indonesia tak memiliki waktu banyak untuk beradaptasi dengan kondisi lapangan Stadion Nasional, mengingat mereka hanya punya dua pertandingan tersisa.
Dan bahkan, laga melawan Malaysia adalah laga yang lebih dulu menentukan kans tim besutan Indra melaju. Praktis, tak ada waktu beradaptasi, kecuali dilakukan dalam pertandingan sembari mengoptimalkan setiap kesempatan untuk meraih kemenangan.