REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim nasional (timnas) sepak bola U-23 Indonesia terpaksa menelan pil pahit karena dipastikan tidak lolos ke putaran final Piala Asia U-23 2020. Berstatus juara piala AFF U-22 2019, tim yang dilatih Indra Sjafri tersebut belum mampu bicara banyak di level Asia.
Pengamat sepak bola nasional, Mohamad Kusnaeni, ikut kecewa dengan permainan yang dihadirkan timnas U-23 selama beberapa hari terakhir. Dengan berbekal juara tingkat Asia Tenggara yang disandang timnas U-23, ekspektasi masyarakat Indonesia dibuat seperti roller coaster saat tim kesayangannya itu tumbang dalam waktu singkat.
"Ekspektasi kita begitu tinggi setelah keberhasilan di Piala AFF. Tapi, penampilan timnas di Vietnam terasa sekali tidak maksimal," kata dia, saat dihubungi Republika, Senin (25/3).
Ia menilai ada yang keliru dengan kualitas performa timnas secara keseluruhan. Kalah telak oleh Thailand 0-4 dan kerepotan menghadapi Vietnam hingga tumbang 0-1 merupakan buktinya.
Dari segi kualitas skuat, menurut dia, timnas sudah memiliki armada yang mumpuni. Ia tidak melihat adanya masalah dari permainan Egy Maulana Vikri dan Saddil Ramdani. Dua sosok tersebut baru bergabung beberapa hari sebelum timnas berangkat ke Vietnam.
Menurut Bung Kus, demikian ia biasa disapa, penurunan kualitas permainan timnas U-23 erat kaitannya dengan persiapan tim yang kurang maksimal menjelang kualifikasi Piala Asia. "Saya kira PSSI dan jajaran pelatih harus jujur dan mau introspeksi soal ini. Apakah sudah membuat analisis kekuatan, kelemahan, kesempatan, dan tantangan yang utuh tentang calon lawan-lawan kita?" ujarnya.
Kegagalan timnas kali ini, katanya melanjutkan, harus menjadi pelajaran mahal bagi sang pelatih. Pasalnya, dalam waktu dekat, timnas akan menjalani kompetisi SEA Games. Untuk itu, timnas perlu cepat-cepat membentuk kembali mental dan teknis latihan yang jempolan. "Saya pikir ini masalah persiapan yang harus dibenahi," ucapnya.
Ia menyampaikan, persiapan timnas harus bersifat jangka panjang yang terencana dan fokus. Sementara itu, persiapan kualifikasi Piala Asia kemarin dinilai terlalu singkat.
"Untuk persiapan jangka panjang, harus ada sinkronisasi dengan kompetisi liga nasional karena para pemain tetap harus ikut kompetisi untuk menjaga kualitas dan kemampuan mereka," tuturnya.
Ia menilai justru pemusatan latihan dengan waktu terlalu panjang tidak efektif untuk meningkatkan kualitas pemain. Kusnaeni berharap ada koordinasi yang terjalin dengan baik antara timnas dan penyelenggara liga.
Pengamat sepak bola nasional lainnya, Eko Noer Kristiyanto, menuturkan, kegagalan timnas lebih disebabkan faktor eksternal yang terjadi sebelum pertandingan berjalan. Salah satunya adalah polemik yang dialami oleh Ezra Walian terkait pelarangan bermain karena masalah administrasi. Hal itu, menurut Eko, berpengaruh pada hasil yang ditorehkan timnas U-23.
"Negara lain melaju lebih cepat dari persiapan dan perencanaan (timnas Indonesia), ditambah dengan (pemberitaan) media massa yang berlebihan, dan kasus Ezra juga menjadi kurang maksimal," katanya saat dihubungi Republika, Senin (25/3).
Dari segi komponen pemain, ia percaya skuat Garuda Muda dapat dipertahankan untuk kompetisi yang menanti dalam waktu dekat. Ia menitikberatkan peran eksternal lain seperti federasi yang perlu lebih turun tangan mengurusi hal-hal nonteknis di lapangan. "Justru itu, gagal enggak gagal, tugas mereka (PSSI) kan memang menyiapkan timnas tangguh," ujar dia.
Ikut campurnya federasi, kata dia, merupakan hal biasa yang terjadi dalam persepakbolaan di negara lain. Ia berharap agar kasus yang tengah mendera PSSI tidak merasuk ke kualitas permainan atlet. "Jangan sampai energi negatifnya menular ke timnas," ucapnya.
Pengamat sepak bola lainnya, Justinus Lhaksana, punya analisis lain terkait permasalahan Ezra. "Feeling saya cuma satu. PSSI tidak memberikan administrasi yang lengkap," kata Justin saat dihubungi Republika.
Dia mencontohkan kasus yang dialami pemain timnas Thailand, Charyl Chappuis. Saat itu, pemain naturalisasi Thailand asal Swiss itu juga sempat mengalami hal seperti Ezra terkait larangan tampil. Namun, federasi Thailand berjuang melengkapi persyaratan hingga akhirnya Chappuis bisa bergabung ke dalam timnas Gajah Perang. "FIFA dan AFC itu kan ada protokolnya, statutanya. Kalau mereka lihat ada satu yang tidak dipenuhi, ya batal," katanya.
Dia sepakat dengan larangan bermain kepada Ezra membuat Indra cukup kerepotan. Menurut dia, Indra tidak mengantisipasi larangan tersebut. Di sisi lain, Justin menyebut peran Ezra harus diakui memang tidak terlalu banyak. Terlebih, Ezra baru bergabung dengan timnas beberapa hari sebelum berangkat untuk kualifikasi.
"Jadi, jangan mengharapkan Ezra sebagai el savador, orang yang menyelamatkan, tidak. Tapi, dia punya harapan bisa berkontribusi di timnas kita," kata Justin.
Di sisi lain, Indra Sjafri mengaku bertanggung jawab pada hasil yang diraih anak asuhnya di Vietnam. Ia berharap kepada masyarakat untuk tidak menyalahkan individu pemain.
"Semua tanggung jawab ada di tangan saya. Jangan menyalahkan Egy. Jangan menyalahkan Marinus Wanewar. Jangan menyalahkan individu pemain. Itu tidak baik. Itu kalau mau sepak bola Indonesia selalu bergairah pemainnya," kata Indra seperti dilansir laman resmi PSSI.
Ia meminta masyarakat agar tidak pesimistis terhadap sepak bola nasional. Menurut dia, kekalahan kemarin tidak akan mematikan sepak bola. Kekalahan justru merupakan bagian dari target yang akan dicapai kemudian hari.
"Tapi, dengan kekalahan ini, sepak bola Indonesia tetap akan berkembang, dan apa yang akan kami lakukan tentu ada target-target lain yang akan kami capai. Tapi, yang kami pastikan, sepak bola Indonesia tidak akan mati dengan kekalahan ini," kata dia.