Rabu 18 Sep 2019 02:02 WIB

Dilema Asap dari Indonesia di Gelaran F1 GP Singapura

Kondisi seperti ini setidaknya pernah terjadi dua kali pada tahun 2014 dan 2015.

Rep: Muhammad Ikhwanuddin/ Red: Endro Yuwanto
Singapura yang pada akhir pekan ini akan menggelar ajang balap mobil F1 terlihat di selimuti asap.
Singapura yang pada akhir pekan ini akan menggelar ajang balap mobil F1 terlihat di selimuti asap.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ajang balap F1 seri balap Singapura di Sirkuit Marina Bay, Ahad (22/9), terancam batal karena asap kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Sumatra, Indonesia, terbang hingga ke negeri tetangga. National Environment Agency (NEA) Singapura menyatakan, saat ini kondisi udara di Negeri Singa itu dalam kondisi terparah selama tiga tahun terakhir.

Polusi asap Karhutla yang terus berulang diperparah dengan musim kemarau yang panjang sehingga asap semakin pekat. Menurut NEA, saat ini tingkat polutan udara mencapai angka 112. Sedangkan, rentang angka 101-200 sudah dalam kategori udara tidak sehat. NEA pun melarang warga Singapura untuk beraktivitas di luar ruangan.

Baca Juga

"Ada penurunan kualitas udara di Singapura. Ini disebabkan pertemuan angin yang membawa asap dari Sumatera terbang ke Singapura," tulis NEA dalam pernyataan yang dikutip AFP, awal pekan ini.

Singapore GP, selaku penyelenggara F1 di Singapura menyatakan nasib ajang balap jet darat itu sangat tergantung dengan kondisi polusi udara. "Rencana kami adalah menyerahkan ini pada pihak terkait, seperti pemerintah dan komunitas F1. "Karena kabut mempengaruhi jarak pandang, kami akan terus bersinergi dengan pihak yang bertanggung jawab untuk mengambil keputusan terkait ajang F1 ini."

Seorang juru bicara Singapore GP kepada laman Auto123 menyatakan, terdapat dua aspek yang bisa membatalkan balapan akibat polusi asap. "Kalau jarak pandang bagi para pengemudi jadi amat buruk, atau jika kesehatan masyarakat terancam," ujarnya.

Kondisi seperti ini setidaknya pernah terjadi dua kali. Pada tahun 2014 dan 2015, balap F1 hampir dibatalkan karena karhutla yang terjadi di Sumatra membuat polusi di Singapura. Bahkan pada 2015, indeks polusi di Singapura sempat mencapai 300 atau beracun. Kendati demikian, balapan tetap dilaksanakan karena pada hari penyelenggaraan, tingkat polusi di Singapura jauh lebih rendah.

Saat itu, pihak penyelenggara terus memantau perkembangan kondisi kualitas udara di setiap jamnya. Bahkan selama balapan, panitia menyediakan masker N95 tetapi penonton harus membelinya terlebih dahulu. Sebastian Vettel yang sedang dalam performa puncaknya pun mendominasi sekaligus keluar sebagai jawara seri balap Singapura di tengah gempuran asap yang sempat menyelimuti Asia Tenggara selama sepekan.

Di satu sisi, penyelenggara GP F1 Singapura harus benar-benar mempertimbangkan jika akan membatalkan balapan. Sebab, Singapura harus menggelontorkan dana setidaknya 65 juta dolar AS atau setara dengan Rp 900 miliar setiap tahunnya agar bisa menggelar ajang balap mobil itu.

Mantan pembalap F1 asal Malaysia, Alex Yoong pun angkat suara terkait kabut asap yang terjadi. Melalui akun Twitter pribadinya, ia menyebut asap bukanlah kabut karena sangat beracun. "Bisakah kita berhenti berkata ini adalah kabut? Ini adalah asap karsinogenik yang sangat beracun. Menyebut ini kabut membuat orang berpikir ini tidak berbahaya. Kebakaran ini tak akan berhenti sampai hutan di Asia Tenggara benar-benar habis," tulisnya.

Menurut Alex, selain indeks kualitas udara, penentuan digelarnya balapan dapat melalui pandangan visual dari atas helikopter. Jika visibilitas pilot tak menemui masalah, maka balap F1 bisa tetap digelar.

Cuitan yang dibuat Alex bukan tanpa alasan. Pasalnya, asap juga sudah menyebar hingga ke Malaysia. Ia juga meneruskan cuitan seorang warga Malaysia yang protes kepada Presiden RI, Joko Widodo ihwal asap yang mengganggu warga negeri tetangga. Di sisi lain, dalam akun Instagram resminya, Joko Widodo memberi kabar ia baru saja mendarat di Riau untuk meninjau kondisi lapangan yang terdapat kebakaran hutan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement