Selasa 08 Oct 2019 16:07 WIB

Pengamat: Pengurus PSSI tak Boleh Rangkap Jabatan

Sepak bola nasional butuh keteladanan pemimpinnya.

Rep: Afrizal Rosikhul Ilmi/ Red: Endro Yuwanto
Logo PSSI
Logo PSSI

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kongres Luar Biasa (KLB) Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) untuk memilih Ketua Umum, Wakil Ketua Umum, dan Komite Eksekutif PSSI akan digelar pada 2 November 2019. Namun, koordinator Save Our Soccer (SOS) Akmal Marhali menilai sebelum terpilihnya figur-figur yang akan memimpin PSSI periode 2019-2023 nanti, perlu adanya komitmen bersama bahwa pejabat maupun pengurus PSSI tak boleh rangkap jabatan.

Menurut Akmal, ini demi kepentingan kemajuan sepak bola Indonesia. "Karena sejauh ini rangkap jabatan adalah sumber masalah di sepak bola nasional dalam rentang 20 tahun terakhir. Rangkap jabatan memunculkan opini negatif sekaligus juga menghadirkan konflik kepentingan," kata Akmal melalui keterangan resminya, Selasa (8/10).

Akmal mengambil contoh pada kepengurusan PSSI periode 2015-2019, dari 15 anggota Komite Eksekutif hampir semuanya rangkap jabatan. Antara lain, mantan Ketua Umum PSSI Edy Rahmayadi (Pembina PSMS dan PS TNI plus pemilik saham mayoritas PSMS), Wakil Ketua Umum Joko Driyono (Pemilik Saham Persija Jakarta), Iwan Budianto (Presiden Arema FC), Yoyok Sukawi (Presiden PSIS Semarang), Pieter Tanuri (Presiden Bali United), Condro Kirono (Presiden klub Bhayangkara FC). Sementara Johar Lin Eng (Ketua Asprov PSSI Jawa Tengah), Dirk Soplanit (Maluku), Yunus Nusi (Kalimantan Timur).

"Akhirnya, kerja di Komite Eksekutif tidak fokus. Benturan kepentingan terjadi. Alhasil, perolehan hasil klub-nya selalu dikaitkan dengan keberadaannya di PSSI," kata Akmal.

Akmal meminta semua pengurus inti PSSI untuk fokus agar bisa menjalankan cita-cita reformasi tata kelola sepak bola nasional yang dicanangkan Presiden RI Joko Widodo. Menurutnya PSSI juga harus dikembalikan ke makna singkatannya, yakni Profesional Sportif Sehat Integritas. "Ini penting untuk kita jaga bersama. Rangkap jabatan akan membuka konflik kepentingan dalam pengambilan-pengambilan keputusan penting untuk sepak bola nasional,” jelas dia.

Akmal mengakui baik dalan statuta FIFA maupun Statuta PSSI tidak disebutkan secara implisit terkait larangan rangkap jabatan. Namun, kata dia, etika moralnya tetap digariskan.

Di samping itu, kata Akmal, rangkap jabatan sejauh ini banyak memunculkan opini negatif. Pasalnya, sepak bola Indonesia belum benar-benar diisi oleh profesional yang berintegritas dan jauh dari kepentingan, baik itu kelompok maupun klub yang menjadi peserta kompetisi.

"PSSI harus dikelola dengan fokus dan berintegritas menuju prestasi yang diharapkan. Rangkap jabatan sejauh ini ikut berperan merusak cita-cita besar percepatan pembangunan sepak bola nasional. Bukan prestasi yang diraih, tapi lebih banyak diisi sensasi dan kontroversi pengurusnya," kata Akmal.

Sebab itu, Akmal menegaskan pejabat di lingkungan PSSI maupun regulator kompetisi dalam hal ini PT Liga Indonesia Baru (LIB) harus bersih dari rangkap jabatan. Pejabat yang merangkap harus memilih salah satunya. "Bila PSSI mau baik mari mulai dari sekarang kita luruskan niat dan jalankan aturan sesuai dengan apa yang sudah digariskan. Tidak ada lagi Superman dan Superboy di sepak bola nasional. Sepak bola Indonesia butuh keteladan pemimpinnya," tegas dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement