Rabu 30 Oct 2019 04:10 WIB

Persaingan Tunggal Putri Pelatnas Dinilai Kurang Sengit

Tidak ada salahnya PBSI memberikan kesempatan pada para pemain muda.

Rep: Fitriyanto/ Red: Endro Yuwanto
Pemain tunggal putri Indonesia, Fitriani
Foto: Humas PBSI
Pemain tunggal putri Indonesia, Fitriani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Prestasi bulu tangkis sektor tunggal putri Indonesia sejauh ini paling buruk dibandingkan dengan sektor lainnya. Dua pemain utama pelatnas, Gregoria Mariska Tunjung dan Fitriani, tidak mampu berbuat banyak dalam persaingan internasional.

Keduanya kerap tumbang di babak awal Turnamen BWF World Tour Super 500 ke atas. Pengamat bulu tangkis Indonesia, Broto Happy Wondomisnowo ketika dihubungi Republika.co.id, Selasa (29/10) mengatakan, salah satu penyebabnya karena persaingan sektor tunggal putri di Pelatnas Bulu tangkis Indonesia saat ini kurang sengit.

"Persaingan tunggal putri di pelatnas sendiri juga kurang sengit. Sehingga Gregoria dan Fitriani saat ini tetap yang terbaik. Sementara yang lain seperti Ruselly, Aurum, dan lain-lain belum mampu menggusur keduanya. Tidak sengitnya persaingan di pelatnas ini juga ikut berpengaruh terhadap peningkatan performa Gregoria dkk di pentas internasional," kata Broto.

Broto menambahkan, padahal Gregoria ketika junior sempat memberikan angin segar dengan menjadi Juara Dunia Junior 2017. Tetapi setelah masuk level senior, seluruh kemampuan Gregoria tidak meningkat seperti yang diharapkan. "Di sejumlah turnamen, ia memang kerap menyulitkan pemain-pemain top dunia seperti Tai Tzu Ying, Pusarla Sindhu, dan Ratchanok Intanon. Gregoria nyaris menang dan sudah unggul, tapi di poin-poin kritis, ia banyak melakukan kesalahan sendiri dan akhirnya kalah."

photo
Pemain putri Indonesia, Gregoria Mariska Tunjung

Selain teknik yang harus dibenahi, lanjut Broto, Gregoria juga harus memiliki semangat tempur, pantang menyerah, dan memiliki keberanian untuk nekat di poin-poin kritis. "Gregoria saat ini kurang garang dan berani. Sementara untuk Fitriani, secara kualitas individunya memang seperti itu. Posturnya juga kecil. Rasanya sulit untuk mendongkrak kemampuannya bersaing di level top dunia." terangnya.

Muncul wacana agar pemain tunggal putri Indonesia hanya dikirimkan ke turnamen BWF super 300 dan 100 saja. Agar kepercayaan diri mereka meningkat lagi. Broto setuju dengan wacana ini. "Saya rasa ini lebih baik."

Di tengah mentoknya prestasi tunggal putri Indonesia, kini muncul pemain muda Korea Selatan, An Se Young yang tampil gemilang dalam dua turnamen terakhir berlevel Super 750, Denmark Open 2019 dan French Open 2019. Setelah hanya sampai perempat final di Denmark, An Se Young kemudian keluar sebagai juara di French Open 2019.

Broto menilai, An Se Young yang baru berusia 17 tahun sudah kenyang pengalaman bertanding internasional sejak tiga tahun silam. "Selain itu ia memang istimewa. Ia begitu percaya diri saat melawan siapa saja, termasuk pemain top dunia seperti Carolina Marin, Pusarla Sindhu, dll. Tidak ada perasaan takut duluan. Mainnya juga sangat ngotot. Posturnya juga tinggi, 170 cm ikut mendukung dalam mengcover lapangan."

Melihat kesuksesan An Se Young Broto, menyatakan, tidak ada salahnya PBSI  memberikan kesempatan pada para pemain muda Indonesia. "Ada jebolan Kejuaraan Dunia Junior 2019 di Kazan, yakni Putri Kusuma Wardani. Bisa saja dia dioptimalkan."

Namun, Broto mengingatkan, bukan berarti juara dunia junior bisa sukses di level senior. Gregoria adalah salah satu contohnya. Berprestasi di junior, namun kesulitan di level senior. "Banyak pemain kita hebat saat junior, tapi melempen saat senior. Faktornya banyak. Selain kualitas individu, persaingan yang sengit, dan mentalitas juara juga sering tidak dimiliki para pemain kita." pungkasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement