REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Kongres Luar Biasa (KLB) Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) telah berakhir. Beberapa telah terpilih untuk menduduki kursi kepengurusan PSSI periode 2019-2023 mulai dari ketua umum, wakil ketua umum dan komite eksekutif. Dari ke-semua posisi itu, yang paling menarik perhatian tentunya adalah posisi ketua umum. Mantan Kapolda DKI Jakarta Komisaris Jenderal (Komjen) Polisi (Pol) Mochamad Iriawan resmi terpilih setelah mendulang 82 dari total 86 pemilik suara (tiga suara abstein dan satu suara tidak sah).
Perolehan suara mutlak ini didapatkan Iwan Bule, panggilan akrab Iriawan saat bersaing dengan dua calon lainnya yakni Arif Putra Wicaksono dan Rahim Soekasah yang masih bertahan. Adapun delapan orang calon ketua umun lainnya memilih untuk mengundurkan diri dari pencalonan. Mereka adalah La Nyalla Mattalitti yang sejak awal tidak setuju dengan kongres tanggal 2 November, kemudian Benhard Limbong, Fary Djemi Francis, Vijaya Fitriyasa, Yesayas Oktavianus, Sarman El Hakim, Benny Erwin dan Aven Hinelo memilih mundur di hari H pemilihan.
Pengamat sepak bola nasional, Akmal Marhali mengatakan terpilihnya Iwan Bule sebagai ketua umum baru PSSI sudah dapat diprediksi. Sebab, kata dia, setelah La Nyalla memilih mundur, tak ada lawan yang sepadan untuk menyaingi Iwan Bule. Akmal menilai kongres PSSI tersebut mengandung sejumlah intrik sehingga menyebabkan para Caketum lainnya walk out. Hal itu, kata dia, merupakan bentuk representatif dari bobroknya federasi sepak bola Indonesia yang bernama PSSI itu.
"Itu adalah gambaran wajah sepakbola Indonesia saat ini yang banyak bopeng dan berada dalam situasi darurat akut," kata Akmal kepada Republika, Sabtu (2/11) malam.
Menurut Akmal, tindak-tanduk para elite sepak bola Indonesia tidak memberikan teladan yang baik. Seharusnya, kata dia, tindakan sportif dan fairplay harus dicontohkan oleh para elite di atas agar orang-orang yang berada di tataran akar rumput dapat menjadikannya sebagai teladan. Kalau seperti ini, kata dia, sangat sedikit harapan agar di level akar rumput dapat berubah dengan baik.
Di samping itu, Akmal mengingatkan kepada Ketum PSSI terpilih bahwa banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan di masa jabatannya nanti. Iwan Bule, kata dia, harus bekerja ekstra untuk menangani krisis kepercayaan terhadap PSSI. Jika tidak, Akmal menilai ketidakpercayaan masyarakat yang dianalogikan seperti bom waktu itu bisa meledak kapan saja. Sebab itu, lanjut Akmal, Iwan harus memiliki langkah-langkah strategis yang bisa segera dilakukan.
"(Iwan Bule) harus mulai meyakinkan publik, sampai aksi nyata membenahi segala sektor yang bermasalah," jelas Akmal.
Akmal menilai, pekerjaan rumah yang menjadi beban paling berat bagi Iwan Bule adalah untuk mengatasi dan membersihkan stigma negatif kepada para pengurus yang masuk dalam jajaran komite eksekutif (Exco). Pasalnya, kata dia, anggota Exco PSSI terpilih mayoritas merupakan "orang lama", sehingga sulit berharap Iwan Bule bisa berlaku reformis. Selain itu, dia juga meminta agar Iwan Bule mempunyai komitmen yang tinggi untuk memberantas pengaturan skor yang menjadi momok pada sepak bola Indonesia. Iwan Bule yang berangkat dengan latar belakang kepolisian diharapkan bisa memerangi match fixing yang sudah menjadi penyakit akut itu.
"Pak Iwan harus banyak belajar dari apa yang terjadi dengan mantan Ketum PSSI periode sebelumnya Edy Rahmayadi," kata dia.