Senin 16 Dec 2019 05:35 WIB

Kematangan Mental Hendra/Ahsan yang Patut Dicontoh Minions

Kematangan mental Daddies di turnamen-turnamen besar bisa dicontoh Minions.

Pasangan Mohammad Ahsan (kanan) dan Hendra Setiawan merayakan kemenangan pada laga final nomor ganda putra melawan pasangan Jepang Hiroyuki Endo dan Yuta Watanabe pada turnamen World Tour Finals di Guangzhou, China, Ahad (15/12)
Foto: Andy Wong/AP Photo
Pasangan Mohammad Ahsan (kanan) dan Hendra Setiawan merayakan kemenangan pada laga final nomor ganda putra melawan pasangan Jepang Hiroyuki Endo dan Yuta Watanabe pada turnamen World Tour Finals di Guangzhou, China, Ahad (15/12)

REPUBLIKA.CO.ID, Selain pola permainan menghadapi Endo/Yuta yang menjadi ‘momok’ menakutkan, Minions juga perlu belajar bagaimana mematangkan mental, terutama di turnamen-turnamen besar, kepada Daddies. Bukan rahasia lagi, prestasi Daddies sangat cemerlang di usia mereka yang tak muda lagi.

(Baca tulisan sebelumnya: The Great Daddies vs 'Raja Super Series' Minions)

Hendra berusia 35 tahun, sedangkan Ahsan sudah 32 tahun. Bukan usia yang menguntungkan di tengah ganda-ganda putra dunia yang baru bermunculan.

Akan tetapi usai tampaknya bukan menjadi halangan. Ibarat pepatah ‘old but gold’, Hendra/Ahsan menunjukkan kematangan bermain dan pengalamannya. Minions boleh saja disebut ‘Raja Super Series’ dengan memecahkan rekor meraih sembilan gelar juara pada 2017, termasuk BWF Super Series Finals 2017 yang merupakan nama turnamen yang kemudian menjadi World Tour Finals.

Kemudian pada 2018, prestasi Minions tak kalah mengkilap. Mereka mampu meraih delapan gelar juara serta meraih medali emas Asian Games 2018. Tahun ini pun, mereka juga meraih delapan gelar juara.

Akan tetapi, Daddies mampu mencuri tiga turnamen besar tahun ini yaitu All England, Kejuaraan Dunia dan BWF World Tour Finals. Sebuah pencapaian yang sangat luar biasa.

Untuk turnamen All England, Minions memang telah memenanginya sebanyak dua kali yaitu pada 2017 dan 2018. Untuk gelar sebagai Juara Dunia, mereka belum pernah merengkuhnya. Sedangkan, Hendra/Ahsan sudah menjadi Juara Dunia sebanyak tiga kali yaitu pada 2013, 2015 dan 2019. Bahkan Hendra meraih empat kali gelar Juara Dunia dengan tambahan dengan pasangan sebelumnya, yaitu Markis Kido pada 2007.

Kematangan mental yang diperlihatkan Hendra/Ahsan bukan hanya ada di dalam lapangan, namun juga di luar lapangan. Dengan attitude yang baik dan rendah hati, membuat Hendra/Ahsan begitu disegani dan dihormati baik kawan maupun lawan.

Hendra/Ahsan mampu bersikap layaknya senior yang mengayomi junior-juniornya. Tak hanya lawan dari dalam negeri, Hendra dan Ahsan juga menunjukkan sosok ‘kebapakannya’ terhadap pemain lain.

Misalnya Ahsan tak segan memuji lawannya yang masih muda dengan kegigihannya saat bertanding di lapangan. Di antaranya, Ahsan menunjukkannya dengan memberikan ‘jempol’ kepada pasangan Cina Taipei, Lu Ching Yao/Yang Po Han usai bertanding di fase grup B BWF World Tour Finals 2019.

Saat itu, Hendra/Ahsan harus jatuh bangun dan menang tipis dengan 21-10, 15-21 dan 21-19. Peran Yang Po Han yang bermain cemerlang di pertandingan tersebut diacungi jempol oleh Ahsan sebagai simbol memberikan apresiasi tinggi untuknya. Yang Po Han pun sangat senang dengan apresiasi tersebut dan mengunggah foto tersebut di akun Instagram pribadinya.

photo
Pemain Indonesia, Mohammad Ahsan memberikan acungan jempol kepada pasangan Cina Taipei, Lu Ching Yao/Yang Po Han di fase grup B World Tour Final 2019.

Usai bertanding di babak final BWF World Tour Finals 2019, Hendra dan Ahsan juga memberikan apresiasinya kepada Endo dan Yuta. Mereka pun saling memberikan pelukan usai bertanding. Khusus Yuta, Ahsan terlihat memuji aksi memukan Yuta hingga membuatnya tersipu.

Aksi Ahsan juga sempat membuat ramai media sosial saat Ahsan mengelus kepala sambil memuji permainan salah satu pemain Jepang, Yugo Kobayashi usai bertanding di babak final Kejuaraan Dunia 2019. Saat itu, Hendra/Ahsan mengalahkan Yugo Kobayashi yang berpasangan dengan Takuro Hoki dengan 25-23, 9-21 dan 21-15.

Hendra juga tak kalah memperlihatkan attitude yang mengagumkan. Kedekatan Hendra dengan salah satu pemain Cina, Liu Yuchen sudah bukan menjadi rahasia lagi. Keduanya tampak akrab dan foto-foto kebersamaan mereka kerap diunggah baik di akun Hendra maupun Liu Yuchen.

Bahkan, para pecinta bulu tangkis di Indonesia kerap menganggap Liu Yuchen sebagai anak keempat Hendra dan mengganti nama Liu Yuchen menjadi Ryuchen. Karena ketiga anak Hendra memiliki awal nama berhuruf R semua.

Karakter Hendra yang rendah hati juga dipuji salah satu pemain asal Denmark, Mathias Boe. Di salah satu unggahan di Instagram pribadinya, Boe mengatakan sangat menghormati Hendra dan Ahsan karena sikap mereka yang menghargai dan menghormati lawan-lawannya.

Sebaliknya, baik Yuchen maupun Boe, merupakan dua di antara ‘musuh bebuyutan’ Minions, khususnya Kevin, dan pernah terlibat perseteruan panas di tengah pertandingan. Kevin memang disorot para pecinta bulu tangkis karena kerap melakukan hal-hal yang memancing amarah lawannya. Seperti berpura-pura memukul bola atau menertawakan lawannya karena gagal meraih angka dan bahkan pernah mengacungkan jempol ke bawah kepada lawan. Kevin juga tak pernah terlihat akrab dengan pemain dunia lainnya seperti yang terjadi pada Daddies. Bersenda gurau dengan lawan-lawannya di podium pun, sangat jarang terjadi.

Dengan posisinya yang saat ini sebagai peringkat 1 dunia, sebaiknya Kevin mulai belajar dewasa di lapangan. Karena mampu menahan emosi saat bertanding juga merupakan kematangan mental. Saat tak mampu menahan emosi, tentu akan menjadi hal yang dimanfaatkan lawan.

Memang, setiap pemain memiliki caranya sendiri untuk meraih kemenangan, namun kerap melakukan hal-hal yang memancing emosi lawan tentunya sangat berlebihan. Dengan ambisi ingin selalu menang dengan berbagai cara, secara psikologis akan berpengaruh ketika menghadapi lawan-lawan yang sulit seperti Endo/Yuta.

Dalam pertandingan di emifinal World Tour Finals 2019 melawan Endo/Yuta, Marcus memang banyak melakukan kesalahan sendiri, khususnya di gim ketiga. Hingga Kevin memperlihatkan ekspresi seolah-olah menyalahkan Marcus atas berbagai poin yang terbuang.

Marcus pun terlihat bermain ‘penuh beban’ karena tidak hanya melawan dua orang di lapangan lawan, tapi juga satu orang di lapangannya sendiri. Permainan Marcus pun kacau. Dengan kedewasaan dan kematangan mental, kerja sama dengan pasangan saat dibutuhkan, tak hanya saat berada di atas angin, tapi juga saat berada dalam tekanan lawan.

Hal inilah yang diperlihatkan Hendra dan Ahsan. Berapa kali pun Hendra melakukan kesalahan servis, atau berapa kali pun Ahsan tak mampu memaksimalkan peluang untuk menyerang, tapi mereka tetap memberikan dukungan satu sama lain. Tak pernah terlihat salah satu mereka memperlihatkan ekspresi marah apalagi menyalahkan.

Setiap pemain sangat mungkin untuk meraih berbagai prestasi, termasuk berperingkat 1 dunia. Tapi untuk mendapatkan pengakuan sebagai ‘legend’ dari berbagai pihak, termasuk lawan-lawan mereka, bukan hal yang mudah. Semoga ini bisa menjadi pembelajaran yang penting dari Daddies kepada Minions ke depannya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement