REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) mendapat kritikan dari berbagai pihak karena mempersilakan klub-klub untuk menggaji pemainnya maksimal 25 persen pada bulan Maret sampai Juni 2020 dari gaji yang tertera di kontrak di tengah jeda kompetisi akibat pandemi virus corona (Covid-19).
Pengamat sepak bola nasional Akmal Marhali menegaskan dirinya sudah menyampaikan ketidaksetujuannya dengan keputusan itu lantaran PSSI tidak melibatkan pemain saat mengambil keputusan tersebut.
Berdasarkan pada kebijakan yang tertera dalam Surat Keputusan PSSI bernomor 48/SKEP/III/2020, yang ditandatangani Ketua Umum PSSI Mochamad Iriawan pada 27 Maret lalu itu, salah satu klub promosi Liga 1 2020, Persita Tangerang memutuskan untuk menggaji pemainnya hanya 10 persen dari kontrak awal.
Akmal menilai, langkah yang diambil Persita tak bisa dipermasalahkan karena tidak melanggar ketentuan yang diberikan PSSI.
"Ya silakan saja. Itu kan hak setiap manajemen," kata Akmal kepada Republika.co.id, Ahad (12/4).
Akmal justru kembali mengkritisi PSSI yang tak melibatkan Asosiasi Pesepak Bola Profesional Indonesia (APPI) sebagai perwakilan dari para pemain. Di samping itu, menurut Akmal sudah sejak lama, para pemain Indonesia memang tidak berani angkat bicara. Sehingga, menurutnya, wajar jika tidak terdengar keluhan atau protes dari para pemain saat gaji mereka dipotong secara besar-besaran.
Menurut Akmal, jalan tengah yang bisa diambil dalam menghadapi situasi ini adalah dengan mengundang pemain untuk diskusi bersama.
"Dari awal sudah saya kritisi bahwa tidak fair keputusan pembayaran gaji maksinal 25 persen untuk Maret, April, Mei dan Juni. Kesalahan terjadi di awal pengambilan keputusan karena pemain sebagai obyek tidak dilibatkan," kata koordinator Save Our Soccer (SOS) itu.
"Satu-satunya jalan tengah adalah mengajak pemain ikut dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Andaikan dilibatkan dari awal, tidak akan terjadi penolakan. Karena sudah menjadi kesepakatan bersama," tegasnya.