REPUBLIKA.CO.ID, SOLO - Pelatih Tim Nasional (Timnas) Sepak Bola Indonesia U-23, Indra Sjafri, memberikan kuliah perdana sepak bola kepada mahasiswa Fakultas Keolahragaan (FKOR) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo secara daring, Rabu (30/9) sore. Dia berbagi ilmu dan pengalaman seputar kepelatihan keolahragaan yang pernah dilakoni.
Indra menceritakan, dulu dirinya pernah bekerja di kantor pos dan sempat menjadi kepala distribusi di bandara. "Tapi karena itu bukan passion saya, akhirnya saya memutuskan untuk menekuni bidang sepak bola," terangnya seperti tertulis dalam siaran pers, Kamis (1/10).
Dia mengatakan keputusannya untuk terjun ke dunia sepak bola pada 2007 dilalui dengan kerja keras. Indra Sjafri yang juga Direktur Teknik Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) tersebut sebelumnya pernah berprofesi sebagai pemain sepak bola.
Indra Sjafri mengawali kariernya sebagai pemain di Machudum Football Club dan dilanjutkan PSP Padang. Meski pernah menjadi pemain sepak bola, lanjutnya, pengalaman seorang pemain untuk menjadi pelatih sepak bola tidaklah cukup. Agar mampu mencetak pemain-pemain hebat, seorang pelatih sepak bola, harus dibekali dengan pengetahuan dan kompetensi yang mumpuni.
Menyinggung profesi kepelatihan, Indra Sjafri menyoroti kurangnya jumlah pelatih di Indonesia. Dia membandingkan ketersediaan pelatih di Jepang yang jumlahya mencapai 60.000. Sedangkan di Indonesia jumlahnya hanya 3.000 pelatih.
Menurutnya, kurangnya ketersediaan pelatih yang mumpuni disebabkan oleh ketidakmerataan jumlah pelatih di 34 Asosiasi Provinsi (Asprov) PSSI di Indonesia.
"Kami sedang menjalin komunikasi dengan pemerintah agar kursus kepelatihan untuk lisensi D dan C digratiskan. Jadi, nanti yang ada di Asprov Yogyakarta tidak bisa masuk ke Asprov Jawa Tengah, begitu pula di provinsi lainnya. Karena, selama ini yang mampu mengambil kursus kepelatihan hanya orang-orang yang punya uang," paparnya.
Di samping itu, pihaknya akan mulai menjalin kerja sama dengan perguruan tinggi. Hal tersebut dimaksudkan agar PSSI dapat mengembangkan sepak bola kearah yang lebih baik dengan memanfaatkan sport science yanh dinilai penting. Sebab, pada era keterbukaan saat ini, pelatih sepak bola punya tanggung jawab dan tuntutan lebih untuk mendidik pemain dengan keilmuan.
Dia mencontohkan sosok Diego Maradona yang dikenal pecinta sepak bola sebagai pemain terbaik di dunia pada masanya. Walau sosoknya sangat melegenda, Diego Maradona gagal mengimplementasikan pengalamannya selama menjadi pemain saat sudah menjadi pelatih.
"Perguruan tinggi itu penting karena untuk menjadi pelatih sepak bola tidak bisa membangun tim dengan cara konvensional yang apa-apa semua dikerjakan oleh pelatih. Maka dari itu perlu adanya sport science. Seorang pelatih juga harus paham bagaimana cara belajar yang kognitif, asisosiatif, dan otomatis anak didik mampu memahami apa yang kita ajarkan," pungkasnya.