REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perjalanan cabang olahraga elektronik atau esports di Tanah Air mengalami perkembangan positif di tahun 2020. Hal itu dapat dilihat dari tetap berjalannya sejumlah agenda nasional hingga kejuaraan berkelas internasional.
Tidak seperti cabang olahraga arus utama yang kewalahan tak bisa menjalani program latihan atau kompetisi akibat pandemi, esports seakan tak terpengaruh dengan kondisi tersebut. Bentuk permainan yang dilakukan virtual membuat pelaku atau atletnya bisa tetap bersaing satu sama lain tanpa harus bergumul di satu lokasi, yang berpotensi melanggar protokol kesehatan untuk menjaga jarak dan menghindari kerumunan.
Bahkan dalam prakteknya, pandemi COVID-19 justru secara tidak langsung menumbuhkan minat masyarakat untuk menghabiskan waktu di rumah dengan bermain permainan elektronik dalam berbagai platform seperti komputer desktop atau laptop, ponsel pintar, hingga perangkat gim konsol.
Di luar ranah kompetisi, esports terus menunjukkan perkembangan dengan semakin beragamnya jenis permainan dan jumlah pemain yang lebih merata dari segi umur, latar belakang individu, hingga gender.
Soal prestasi, atlet esports nasional juga tak satu dua kali menorehkan prestasi. Kendati begitu, permainan elektronik masih dianggap sebatas kegiatan pelepas penat dan menjadi kegiatan sia-sia oleh masyarakat.
Wuryati misalnya, ibu rumah tangga berusia 43 tahun, menganggap bermain gim hanya kegiatan yang punya nilai tak lebih dari membuang penat selama di rumah. Meski dia membiarkan anaknya yang duduk di kelas VIII SMP bermain gim di rumah, namun dirinya tak berharap anaknya bisa mencatatkan prestasi dari bermain gim.
Baginya, potensi bisa sukses dari gim tidak pernah terbayangkan meski secara resmi pemerintah telah menggaungkan esports sebagai cabang olahraga prestasi yang sudah diakui.
Secara tegas Wuryati lebih memilih mengarahkan anaknya untuk sukses dari jalur akademik atau prestasi lain yang sudah bisa diterima secara luas di masyarakat.
Hal serupa juga dialami Wakil Presiden Indonesia Esport Premiere League (IESPL) Rangga Danu Prasetyo. Ia menceritakan, secara umum perkembangan esports di Indonesia sudah jauh lebih baik dibanding 10-15 tahun lalu.
Saat ia pertama kali menggeluti dunia permainan elektronik awal 2000-an, belum muncul nama "esports" sebagai identitas spesifik kegiatan permainan elektronik.
Turnamen jarang diagendakan, dan hadiahnya pun nominalnya kecil atau sekedar mendapat perangkat elektronik seperi tetikus, keyboard, dan lain sebagainya.
Sementara sekarang, turnamen esports bisa dilaksanakan dengan jumlah yang tak terhitung setiap tahunnya, disertai nominal hadiah yang mencapai angka miliaran rupiah.
Meski begitu, masalah klasik yang masih terjadi ialah pandangan masyarakat dan orang tua yang menilai esports tidak prospektif untuk masa depan.
Sebagai salah satu pegiat esports nasional IESPL punya komitmen tinggi untuk mengubah pandangan itu. Dengan investasi skala besar, IESPL berani menggarap sejumlah turnamen gim berskala internasional, termasuk Piala Presiden yang sudah tiga kali digelar bersama Kemenpora.
Pada tahun 2019 saja, nilai pasar gim global mencapai 152 juta dolar ASatau lebih dari Rp2,2 triliun, meningkat hampir 70 persen dari tahun sebelumnya.
Angka tersebut menjadi indikator pertumbuhan esports yang sangat masif, karena tidak hanya menyentuh aspek penjualan gim, namun juga terkait investasi, infrastruktur, hingga pelaksanaan event lomba esports.
"Kami kejar masyarakat agar mereka punya pemahaman yangberubah, (esports) tidak lagi hal sia-sia, membuang-buang waktu dan negatif. Esports juga bisa membanggakan. Dari gim bisa menghasilkan uang itu seperti mimpi yang jadi nyata, melakoni pekerjaan dari hobi rasanya seperti tidak bekerja," kata Rangga menceritakan.
Tak jauh berbeda, Wakil Sekjen PB Esports Indonesia Andrian Pauline mengutarakan organisasinya juga semakin gencar dalam mempromosikan esports ke ranah yang lebih luas.
Baik organisasi, pemerintah, hingga media, punya peran penting untuk menentukan nasib esports di masa depan, katanya.
Aspek pemahaman yang belum menyeluruh ini nyatanya juga disadari Kementerian Pemuda dan Olahraga RI selaku pemegang regulasi pusat.
Dalam sebuah kesempatan, Sesmenpora Gatot S. Dewa Broto secara terbuka menuturkan ada stigma negatif dari masyarakat terhadap esports, yang kini sudah punya induk olahraga resmi.
Elemen pegiat esports mulai dari pemerintah hingga atletnya sepakat meski cabor ini sudah mencetak banyak prestasi, namun masyarakat masih menganggap gim hanyalah sebuah hobi yang tak bisa dijadikan patokan cita-cita atau punya prospek sebagus dunia karir konvensional.
Pihak Kemenpora masih membutuhkan upaya lebih agar esports bisa diterima dengan baik sebagaimana cabang olahraga lainnya, terutama memberikan pemahaman modern kepada orang tua yang menilai bermain gim hanya membuang-buang waktu.
Sesmenpora Gatot pun mendorong agar semua pihak yang aktif dalam dunia esports dalam negeri terus semangat menggaungkan cabor ini.
"Meski masih ada stigma negatif di masyarakat, ini jadi pemacu kawan-kawan semua agar tidak menyerah dan bisa mengubah pola pikir masyakarat, bahwa esports pun bisa jadi ajang berprestasi, berkarir dan melakukan hal positif lainnya," katanya.
Aksi pemerintah dalam mengembangkan cabor esports memegang peranan kunci, mengingat ia berfungsi sebagai pemegang regulasi dan punya peran mutlak dalam pelaksanaan instrumen kegiatan di lapangan.
Dengan bimbingan pemerintah, lebih mudah membuka jalan lebih besar bagi esports agar lebih diterima masyarakat. Dengan menonjolkan catatan prestasi dan geliat turnamen, diharapkan akan membangkitkan minat calon atlet muda dengan restu dan dukungan penuh dari orang tua.