Teropong Republika 2020-2021 berisi ulasan isu penting yang terjadi selama setahun belakangan. Sekaligus mencoba memproyeksikan bagaimana persoalan serupa bisa diselesaikan pada tahun depan. Kita semua berharap Indonesia 2021 tentu berbeda dari situasi tahun sebelumnya. Harus bangkit dan lebih baik lagi.
REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh: Israr Itah
Redaktur Olahraga Republika
Kita pasti sepakat, Liga Primer Inggris 2020/2021 merupakan salah satu musim yang paling sulit untuk diprediksi. Berbagai variabel yang biasanya jadi acuan untuk mengira-ngira tim juara, lolos ke Liga Champions, bermain di Liga Europa, hingga degradasi jadi berantakan. Penyebabnya apalagi kalau bukan Covid 19.
Akibat pandemi virus corona baru, musim 2019/2020 molor tiga bulan. Imbasnya, musim 2020/2021 pun dimulai lebih lambat sebulan dari biasanya. Tak ada pramusim yang ideal bagi seluruh tim. Rencana beruji tanding untuk adaptasi pemain anyar, menguji pola-pola baru, dan menakar kelemahan yang wajib dibenahi jelang berlaga di kompetisi jadi tak sempurna. Terlebih bagi klub-klub yang masih harus berlaga di Eropa setelah kompetisi domestik berakhir.
Klub-klub terpaksa menyesuaikan program pramusim dengan keterbatasan yang ada. Uji coba dengan tim lain misalnya, diganti gim internal. Atau seharusnya menghadapi tim tangguh, jadi harus menerima hanya melakoni tune up game dengan lawan seadanya karena pembatasan Covid-19.
Bursa transfer musim panas pun ditutup lebih lama, yakni 5 Oktober. Ini sedikit banyak berpengaruh terhadap adaptasi pemain baru. Apalagi untuk pemain yang masih harus berlaga di kompetisi Eropa yang berakhir pada 23 Agustus. Sementara musim baru Liga Primer Inggris dimulai pada 12 September.
Pemain Bertumbangan
Tak banyak yang seperti Timo Werner, memutuskan meninggalkan RB Leipzig yang masih berlaga di babak gugur Liga Champions demi bergabung lebih cepat dengan Chelsea. Tanpa Werner, RB Leipzig melaju ke semifinal sebelum dihentikan Paris Saint-Germain.
Jumlah pertandingan musim lalu yang dipadatkan karena sempat molor berimbas kepada pemain. Satu per satu pemain bertumbangan karena cedera akibat 'dipaksa' tampil membela klub dan kemudian dipanggil membela negaranya. Ditambah serangan atau protokol Covid-19 membuat hitung-hitungan di atas kertas bisa berubah menjadi 180 derajat di lapangan.
Edinson Cavani yang bergabung dengan Manchester United (MU) menjelang penutupan bursa transfer bisa jadi contohnya. Ia sudah sebulan lebih tak berlatih dengan tim karena dilepas oleh Paris Saint-Germain menjelang akhir Agustus. Pada periode itu, Cavani terkena Covid-19 yang berpengaruh pada kebugarannya.
Cavani kemudian harus menjalani isolasi terlebih dulu sesuai aturan di Inggris. Otomatis, butuh waktu lebih panjang bagi penyerang timnas Uruguay ini untuk menyatu dengan tim barunya. Tak heran sejauh ini Cavani hanya dijadikan ban serep oleh pelatih Ole Gunnar Solskjaer.
Atau, kasus terbaru, penyerang Manchester City Gabriel Jesus yang sekarang tengah menjalani pemulihan akibat Covid-19. Padahal tenaganya amat dibutuhkan di tengah kondisi Sergio Aguero yang menurut pelatih Pep Guardiola belum 100 persen. Belakangan, City bahkan gagal bertanding melawan Everton pada Selasa (29/12) dini hari WIB karena serangan masif Covid-19 kepada sejumlah pemain dan staf tim. Persis seperti yang terjadi pada Newcastle United awal Desember lalu.
Tim Yang Menakutkan
Di atas lapangan, beberapa pelatih dari tim-tim yang musim lalu tak berlaga atau terhenti lebih cepat di kompetisi Eropa, memanfaatkan keuntungan waktu persiapan yang lebih lama. Pergerakan di bursa transfer yang jitu untuk menambal kelemahan musim lalu sekaligus menjadikan tim bermain sesuai dengan gaya yang mereka inginkan berbuah manis, setidaknya jelang paruh pertama musim ini berakhir.
Carlo Ancelotti sempat membawa Everton memuncaki klasemen Liga Primer Inggris selama beberapa pekan. The Toffees sempat limbung setelah beberapa pemain kunci cedera, tapi kini kembali lagi ke posisi kedua setelah Ancelotti membuat beberapa penyesuaian taktik. Kedatangan Allan, Abdoulaye Doucoure, dan James Rodriguez membuat Everton yang musim lalu finis di posisi 12 makin menakutkan.
Tottenham Hotspur juga sempat beberapa pekan berada di atas sebelum dikudeta Liverpool. Kedatangan Pierre-Emile Hojbjerg dan Sergio Reguillon membuat permainan Tottenham semakin mendekati ekspektasi pelatih Jose Mourinho.
Masih ada Brendan Rodgers (Leicester City), Ralph Hasenhuettl (Southampton), dan Dean Smith (Aston Villa) yang makin menyatu dengan tim polesan mereka musim ini. Musim lalu, Leicester finis di posisi kelima, Southampton di peringkat 11, dan Villa nyaris degradasi.
Namun awal musim ini, ketiga tim ini semakin menakutkan dan kerap jadi pengganjal tim-tim unggulan. Villa misalnya pernah mempermak sang juara bertahan Liverpool 7-2 pada 5 Oktober lalu. Jack Grealish dkk sementara menempati posisi lima.
Liverpool Favorit
Dengan sederet fakta di atas, jangan heran jika musim ini berjalan sangat ketat. Jarak pemuncak klasemen, Liverpool, dengan peringkat 10, West Ham United, hanya 10 poin saat tulisan ini dibuat. Itu artinya, posisi tim-tim di klasemen sementara Liga Primer Inggris akan berubah dengan sangat dinamis di tengah jadwal pada jelang Tahun Baru.
Bahkan sejumlah program komputer yang dirancang untuk mensimulasikan hasil pertandingan dan memprediksi klasemen akhir Liga Primer Inggris musim 2020/2021 berulang-ulang merevisi perkiraan mereka. Ini karena hasil-hasil di luar dugaan yang selalu muncul tiap pekan.
Siapa yang akan menjadi kampiun sepertinya baru mulai bisa diraba setelah bursa transfer musim dingin berakhir. Ketika itu, tim-tim sudah melewati paruh pertama musim. Pergerakan di bursa transfer juga akan memengaruhi sisa perjalanan. Siapa tahu, ada tim yang beruntung mendapatkan pemain yang bisa menutupi kekurangan sekaligus menjadi faktor X dalam perjalanan menuntaskan musim.
Seperti MU saat mendapatkan Bruno Fernandes pada awal 2020. MU tampil menggila sejak kehadiran Fernandes hingg akhirnya finis di posisi tiga. Sampai saat ini, Fernandes telah mencetak 26 gol dan 16 assist dari 44 laga untuk Setan Merah.
Sekali lagi, amat sukar untuk membuat prediksi dengan berbagai variabel pendukung. Namun jika berkaca pada kondisi sekarang, Liverpool tampaknya layak diunggulkan menjadi juara. Pelatih Juergen Klopp terlihat mampu menyiasati masalah cedera yang menerpa timnya.
The Reds tampak baik-baik saja saat Virgil van Dijk yang disebut sebagai pemain kunci di belakang harus menepi hingga akhir musim akibat cedera ACL. Klopp menarik Fabinho ke belakang mengisi posisi bek tengah dan tak canggung bermain di sana. Begitu pula ketika kiper Alisson Becker sempat menghilang beberapa laga akibat cedera.
Walaupun tak sedalam Manchester City, barisan pemain di bangku cadangan Liverpool cukup mumpuni saat diberi kepercayaan. Melihat aksi Curtis Jones saat Liverpool mengalahkan Tottenham Hotspur 2-1, sulit membayangkan ia sosok pemain muda yang dimainkan karena para seniornya cedera. Jones tampil memukau mengiris-iris pertahanan Tottenham dan membuka peluang bagi para penyerang Liverpool.
Andai bisa membagi fokus saat babak gugur Liga Champions bergulir, the Reds kemungkinan bisa mempertahankan gelar juara. Apalagi jika Liverpool mendapatkan pemain bertahan bagus pada bursa transfer musim dingin ini untuk menambal krisis bek mereka.
Duo Manchester
Tim yang paling siap menggusur Liverpool sepertinya Manchester City. Sempat tak meyakinkan pada awal kompetisi, City perlahan menemukan konsistensi. Setelah diihajar Tottenham 0-2 pada akhir November, the Citizens melewati enam laga di liga tanpa kalah, empat di antaranya dengan kemenangan.
Sejauh ini dengan materi pemain yang ada, City sudah kembali menakutkan bagi lawan-lawannya. Menarik dinanti apakah kasus Covid-19 yang menerpa sekarang akan mengganggu laju the Citizens.
Di bawahnya, MU layak diapungkan sebagai penantang gelar. Setan Merah perlahan menemukan kembali sentuhan setelah mendapatkan hujatan akibat performa turun naik dan kegagalan melangkah ke babak 16 besar Liga Champions. Hanya berlaga di Liga Europa bakal menjadi berkah tersamar Setan Merah dalam perjalanan di kompetisi domestik musim ini.
MU bisa fokus penuh ke liga. Asal jangan tergiur ingin memenangkan semua kompetisi dengan memaksakan skuad utama, MU bakal jadi ancaman besar City dan Liverpool. MU harus bisa mengatasi permasalahan penampilan buruk di kandang.
Satu lagi, Solskjaer harus pintar-pintar menjaga Fernandes tetap fit hingga akhir musim. Sulit membayangkan MU bisa mencapai posisi bagus di klasemen akhir tanpa kehadiran Fernandes dalam waktu lama.
Empat Besar
Menempatkan satu tim lagi yang akan berada di zona Liga Champions amatlah rumit. Tottenham, Leicester, Everton, dan Chelsea sama-sama dalam posisi sejajar. Tottenham, Everton, dan Leicester punya keunggulan di sisi pelatih, sementara Chelsea punya skuad bertabur bintang.
Keunggulan di sisi kedalaman pemain ini membuat Chelsea agaknya punya peluang sedikit lebih besar dibandingkan tiga pesaing terdekat. Setidaknya untuk finis di zona Liga Champions andai tak mampu menjadi penantang gelar. Sebab dengan perjalanan kompetisi yang masih panjang, kedalaman skuad akan sangat penting.
Walau belum punya jam terbang sebanyak Mourinho, Ancelotti, dan Rodgers, Frank Lampard sudah membuktikan cukup layak memegang Chelsea. Ia membawa the Blues finis empat besar, mengalahkan Leicester dalam persaingan menegangkan jelang kompetiisi berakhir. Padahal musim lalu, komposisi pemain Chelsea tak semewah sekarang.
Tottenham, Leicester, dan Everton bisa menyodok ke empat besar asalkan tak kehilangan pemain kunci mereka. Tottenham jadi kurang menakutkan jika tanpa Harry Kane. Leicester juga bakal tak bergigi bila Jamie Vardy absen lama. Sementara Ancelotti tak akan mau kehilangan Dominic Calvert-Lewin, penyerang yang bisa jadi penuntas serangan dengan kaki dan kepalanya, sekaligus mampu membuka ruang bagi rekan-rekannya mencetak gol.
Pada akhirnya, hanya waktu yang bisa menjawab apakah prediksi ini mendekati kenyataan. Termasuk juga peluang hadirnya keajaiban kebangkitan Arsenal pada sisa musim ini. Walaupun tampak berat, semuanya bisa saja terjadi. Siapa tahu?