REPUBLIKA.CO.ID, MANCHESTER -- Uruguay dan Inggris berpotensi terlibat dalam perang pandangan. Ini terkait persoalan rasisme dalam kehidupan. Kasus Edinson Cavani menjadi penyebab. Sebelumnya Cavani dianggap melakukan tindakan negatif tersebut.
Berawal dari postingannya pada akhir November 2020. Saat itu ia menjadi bintang kemenangan Manchester United atas Southampton. Sejumlah kalangan memujinya. Ia lantas membalas pujian salah satu temannya dengan menuliskan kata negrito.
Federasi Sepak Bola Inggris (FA) bereaksi. Dalam bahasa setempat, tulisan Cavani menyinggung siapa pun sosok berkulit hitam. Pria 33 tahun ini sempat membela diri. Ia mengklarifikasi maksud dari tindakannya.
"Itu adalah ungkapan sayang kepada seorang teman. Saya benar-benar menentang rasisme dan saya menghapus pesan tersebut karena dapat ditafsirkan secara berbeda," demikian pernyataan Cavani beberapa waktu lalu, dikutip dari BBC, Selasa (5/1).
FA tetap melakukan investigasi. Hingga akhirnya, eks penyerang Paris Saint-Germain (PSG) dan Napoli itu dinyatakan bersalah. Asosiasi Sepak Bola Negeri Elizabeth menghukum sang bomber untuk tidak terlibat dalam tiga pertandingan United. Cavani juga harus membayar denda 100 ribu euro (sekitar Rp 1,8 miliar) serta menjalani pendidikan singkat terkait isu tersebut.
Di sinilah letak perbedaan pandangan antara Inggris dan negara asal sang penyerang, Uruguay. Asosiasi Sepak Bola Uruguay (AUF) menilai, FA melakukan tindakan yang salah. Mereka justru melihat organisasi tersebut melakukan diskriminasi pada Cavani dan budaya Amerika Latin.
Jadi persoalannya lebih besar dari batasan lapangan hijau. AUF menegaskan, postingan Cavani tidak bisa diartikan secara subjektif sebagai tindakan menghina ras seseorang. Itu ekpresi umum di Amerika Latin, ketika menyapa orang terdekat, dengan penuh kasih.
"Kami meminta FA segera membatalkan sanksi yang dijatuhkan pada Edinson Cavani, dan mengembalikan nama baik dan kehormatannya di dunia yang telah dinodai secara tidak adil, oleh keputusan tercela ini," demikian pernyataan AUF, dikutip dari BBC.
Asosiasi pesepak bola Uruguay (AFU) senada dengan federasi mereka. Para tokoh berpengaruh dari negara tersebut macam Diego Godin hingga Luis Suarez membagikan pernyataan AUF lewat medsos masing-masing. Pertanyaannya siapa yang bertindak diskrimanatif?
Masing-masing punya argumentasi tersendiri. Untungnya semua masih dalam satu napas, yakni memerangi rasisme dalam sepak bola. Kasus Cavani seperti mengorek luka lama. Terlepas dari siapa yang tepat antara FA atau AUF, yang pasti, tindakan penghinaan terhadap ras dan warna kulit menjadi musuh bersama.
Beberapa organisasi getol melakukan perlawanan, di antaranya, Kick It Out. Namun rasisme masih terus terjadi, bahkan di negara maju dengan budaya sepak bola kelas satu macam Italia dan Inggris. Pemain-pemain seperti Moise Kean, Mario Balotelli, Kevin-Prince Boateng. Kemudian Raheem Sterling hingga Dani Alves pernah menjadi korban.
Tak jarang ada yang sampai mengalami trauma, seperti Danny Rose ketika dihina warna kulitnya saat membela tim nasional Inggris menghadapi Montenegro. FIFA senantiasa mengkampanyekan slogan ‘Say No To Racism‘ di setiap kegiatan mereka. Namun belum ada sanksi yang benar-benar tegas dari setiap anggota federasi tersebut.
Dalam pemberitaan BBC, kelompok pemain berdarah campuran dari Cardiff mengaku sering mendapat kekerasan verbal dari penonton. Namun pada saat yang sama, mereka mengalami kekecewaan, lantaran Otoritas Sepak Bola Wales kerap mengacuhkan laporan yang masuk.