REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kegiatan ekstrakurikuler (ekskul) di sekolah, baik tingkat dasar, pertama maupun menengah saat ini sudah cukup beragam. Mulai dari kesenian, pengetahuan, kepanduan, kesehatan, teknologi, keagamaan hingga olahraga. Dari cabang olahraga pun beragam pilihannya, ada cabor permainan seperti basket dan futsal. Ada cabor beladiri seperti silat, karate hingga taekwondo.
Seiring perkembangan zaman, kini muncul perpaduan antara teknologi dan permainan game yang dikenal dengan Esports. Ini sudah diakui pemerintah sebagai cabor prestasi. Esports pada Asian Games 2018 dan PON Papua 2021 lalu sudah dipertandingkan sebagai cabor ekshibisi.
Esports kini tengah berjuang untuk menjadi bagian eskul di sekolah-sekolah. Robertus Aditya Pratomo Putro, Kepala Program Akademi Esports Garudaku ketika berbincang dengan Republika.co.id, Rabu (22/12) di kawasan SCBD Jakarta mengatakan saat ini perjuangan Esports menjadi ekskul sekolah masih dalam tahap proses sosialisasi.
"Dalam proses sosialisasi konsepnya kita 50 persen teori dan 50 persen praktik. Teori soft skill dari Pengurus Besar Persatuan Esports Indonesia (PB ESI) selaku organisasi yang membawahi Esports. Regulasi yang ada serta penggunaan medsos yang baik dan benar. Tentunya games nya juga akan diajarkan. Jadi tidak cuma kelas kepribadian namun juga kamampuan bermain game 50:50," jelasnya.
Robertus menambahkan, pertimbangan pertama Esports masuk ekskul karena sudah diakui sebagai cabor prestasi. Namun pembinaan dan pelatihan atlet, mulai dari daerah, seleksi tahap awal, hingga nasional belum ada struktur yang jelas. Padahal Esports sudah punya Piala Dunia. Ia mengatakan, pihaknya berpikir caranya Indonesia bisa ikut dalam kejuaraan internasional.
Maka dari itu kita ingin atlet yang belum terekspos dari daerah dan menonjol, kita seleksi masuk pelatnas"," kata dia.
Dei menjadikan Esports menjadi ekskul, pihaknya tengah mencari sekolah yang mau menjadi pilot project kegiatan ini. Menurut Aditya, beberapa sekolah sudah mulai sebagai pilot project, tapi ia belum bisa menyebutkan namanya. Sebab, masih dalam tahap trial and error materi.
Riset yang mereka gelar di lapangan, banyak kekhawatiran orang tua. Jadi dianggap Esports hanya main games tanpa prestasi akademis.
"Banyak stigma negatif. Berharap seperti basket, harus ada Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) minimal untuk ikut basket di kampus atau nilai rata-rata untuk ikut ekskul Esports di sekolah sedang kita matangkan," lanjutnya.
Robertus melanjutkan saat ini mereka sedang mensosialisasikan untuk tidak menjadikan Esports kambing hitam oleh orang tua. Ada anak putus sekolah karena dijanjikan sebagai atlet Esports nasional. Ia menegaskan, untuk bisa mewakili sekolah harus punya prestasi akademis yang bagus. Robertus juga mengatakan hadiah yang diberikan bisa macam-macam, salah satunya beasiswa.
"Kita upayakan beasiswa, jadi tujuan dan penenang orang tua yang selama ini khawatir anaknya menginggalkan pendidikan demi bermain games. Program ini orang tua jadi dukung, prestasi beasiswa diupayakan hingga jenjang strata dua (S2). Kerja sama Piala Mahasiswa akan ada lanjutan hadiahnya, yaitu beasiswa jenjang selanjutnya," kata dia
Potensi atlet Esports Indonesia cukup baik menurut Robertus. Nantinya menurut Robertus, ekskul Esports cukup sepekan sekali dengan durasi 1,5 jam. "Ibaratnya pengenalan, memberi rambu-rambu yang baik saja, bukan pelatihan intensif. Nanti ada di level berikutnya porda dan pelatnas. Harapan kita tahun ajaran baru tahun depan, mulai banyak sekolah ikut ambil bagian ekskul Esports. Perkembangan zaman tidak bisa dilawan, jadi kita arahkan,"katanya.