REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Turnamen Piala AFF 2020 yang berlangsung di Singapura dari 23 November sampai 31 Desember 2021 lalu menjadi momen tepat bagi pelatih timnas Indonesia Shin Tae-Yong untuk membuka mata pencinta sepak bola Indonesia bahwa mencapai kesuksesan perlu sebuah proses. Shin telah memperlihatkan hal itu sejak ditunjuk sebagai pelatih timnas Indonesia oleh Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) pada Desember 2019 lalu.
Yang dilakukan pertama kali oleh Shin dan jajaran stafnya adalah mengindentifikasi masalah persepakbolaan Indonesia. Hal yang paling menonjol tampak di mata Shin adalah fisik pemain yang di bawah standar. Fisik mereka tak mampu bertahan hingga 90 menit waktu normal. Oleh karena itu, Shin menggenjot fisik anak asuhnya sebelum memberikan materi taktik dan strategi.
Awalnya, penggemar sepak bola Indonesia meragukan kemampuan Shin sebagai pelatih meskipun punya reputasi membawa Korea Selatan mengalahkan Jerman 2-0 di Piala Dunia 2018. Tetapi Shin bergeming. Ia tetap menjalankan sesuai rencana yang sudah dirancang. Hasilnya baru terlihat saat ia membawa timnas Indonesia lolos ke final Piala AFF 2020 meskipun tak diunggulkan karena diisi oleh mayoritas pemain muda dan tak berpengalaman.
Masyarakat Indonesia puas dengan penampilan skuad Garuda yang ngotot dan kekuatan fisiknya yang membaik dibanding periode-periode sebelumnya. Fan tetap puas meskipun gagal juara. Shin rupanya punya misi mulia untuk sepak bola Indonesia. Ia ingin memperbaiki seluruh aspek di sepakbola Indonesia.
Shin mengungkap setidaknya ada tiga kejelekan dari pemain-pemain Indonesia dalam sebuah wawancara di Podcast Deddy Corbuzier, Selasa (11/1/2022). Pertama, kurangnya mental profesional. Kedua, asupan makanan yang tak baik untuk kebugaran pemain. Ketiga kurangnya kepedulian terhadap weight training.
Bicara mengenai makanan, menurut Shin, pemain sering mengonsumsi makanan yang digoreng dan kurang protein. Ia sedang dalam tahap mengubah cara makan bagi pesepak bola tim Merah Putih. Ia menjamin bisa mengontrol ketat makanan pemain ketika di training camp, namun tak bisa mengontrol ketika kembali ke klub masing-masing.
“Sebenarnya harus pemain sendiri yang sadar sebagai seorang pesepak bola profesional,” kata Shin.