Senin 24 Jan 2022 23:00 WIB

Diego Maradona, Moskow, Lenin dan Awal dari Akhir Tragis di Napoli

Maradona dijatuhi hukuman dan dilarang bermain selama 15 bulan

Rep: Anggoro Pramudya/ Red: Muhammad Akbar
Penghormatan bunga untuk mendiang mantan pemain sepak bola Argentina Diego Armando Maradona menandai peringatan pertama kematiannya di distrik Spanyol Napoli, Italia, 25 November 2021. Penghormatan, disponsori oleh Walikota Napoli Aurelio De Laurentiis dan putranya Edoardo De Laurentiis diletakkan di mural Maradona. Puluhan penggemar Boca Juniors, tempat Maradona memulai karirnya, juga hadir dalam acara penghormatan tersebut.
Foto: EPA-EFE/CIRO FUSCO
Penghormatan bunga untuk mendiang mantan pemain sepak bola Argentina Diego Armando Maradona menandai peringatan pertama kematiannya di distrik Spanyol Napoli, Italia, 25 November 2021. Penghormatan, disponsori oleh Walikota Napoli Aurelio De Laurentiis dan putranya Edoardo De Laurentiis diletakkan di mural Maradona. Puluhan penggemar Boca Juniors, tempat Maradona memulai karirnya, juga hadir dalam acara penghormatan tersebut.

REPUBLIKA.CO.ID, NAPOLI -- Kapan cinta yang tertanam kuat mulai berganti asam. Pada titik mana di sepanjang jalan kedua belah pihak menyadari bahwa mereka lebih baik berpisah tanpa kebutuhan satu dan lain hal. Kisah antara legenda sepak bola Diego Maradona dan kesebelasan selatan Italia, Napoli adalah enkapsulasi yang sempurna dari diksi di awal.

Romansa yang memabukkan seiring waktu jadi tak tertahankan, tetapi kapan titik krisis dari cinta antara Maradona dan Napoli mulai memudar pun bagaimana perjalanan akhir lakon dari sang legenda di kota Pompei, Napoli.

Banyak yang percaya bahwa hancurnya hubungan Maradona dengan Napoli terjadi beberapa menit setelah memenangkan Piala UEFA 1989. Ketika menjuarai titel tersebut ia, Maradona dijanjikan oleh pemilik klub Corrado Ferlaino dapat pergi ke Olympique Marseille musim panas. Tetapi itu dengan syarat ia berhasil membawa pulang trofi Eropa utama pertama bagi Napoli.

Segalanya bagai kecap manis yang dituang oleh Ferlaino dengan lembut berbisik ke telinga 'il Dieci', julukan Maradona di lapangan Neckarstadion, Stuttgart apabila ia tidak akan pergi dari Stadion San Paolo, bahwa sebenarnya ia telah menggantungkan 'wortel Marseille' sebagai sarana untuk memotivasi Maradona.

"Saya ingin memecahkan piala (trofi) di atas kepalanya (Maradona)," tulis Maradona dalam otobiografinya tahun 2000.

Elegi dalam kisah kehidupan mendiang Diego Armando Maradona memang tak akan pernah ada habisnya. Gol tangan tuhan, kepindahannya ke klub 'kumuh' selatan Italia, dan intrik hubungan gelap bersama mafia narkotik terbesar Camorra.

Sukses Diego dan Napoli menjadi kebanggan generasi saat itu yang akan senantiasa dikenang. Menjadi folklor yang diturunkan ke dalam tradisi suatu budaya, subkultur, atau kelompok di klub kota pelabuhan tersebut.

Ungkapan Ferlaino bahkan segelintir dari intrik licik ala Italia yang membuat karier Maradona di Serie A mandeg. Ia tidak membantu dirinya sendiri ketika terkesan "mengadu" nasionalisme dengan semangat kedaerahan kala Italia bersua Argentina di semifinal Piala Dunia 1990. Partai tersebut dihelat di San Paolo, kandang Napoli yang juga rumah bagi mendiang Maradona.

Maradona merupakan sosok Neapolitan yang tak terbantahkan, tetapi ia juga telah mengaduk-ngaduk perpecahan antara kaum utara dan selatan Italia. Saat itu, adalah lonceng kematian untuk karier si Tangan Tuhan di Napoli.

Tapi dalam artikel Gentleman Ultra, Sabtu (15/1) yang membahas tentang subkultur dari berbagai sepak bola dunia menjelaskan awal dari redupnya karier Maradona terjadi pada November 1990, ketika Napoli menghadapi Spartak Moskow dp putaran kedua Piala Eropa.

Kebiasaan Maradona yang datang terlambat menjelang pertandingan pecah ketika tim berada di Moskow. Hasilnya, jelas sangat mengecewakan manajemen klub dan tentu, Ferlaino. Napoli yang dijadwalkan terbang ke Negeri Beruang dua hari sebelum laga mendarat tanpa kehadiran Maradona. Semua pemain hadir kecuali seniman kulit bundar dari Argentina.

Insiden itu telah jadi praktik standar di tahun-tahun terakhir Maradona di Napoli, di mana ia justru baru merapat ke skuad pada menit-menit akhir jelang kick off dimulai. "Klub meyakinkan kami bahwa Diego akan datang. Dia akan tiba malam ini untuk makan bersama kami, tetapi dia tidak melakukannya," tulis Ciro Ferrar dalam bukunya 'Ho Visto Diego tentang era keemasan Napoli.

Ferrara dan rekan setim sebelumnya memutuskan untuk mengambil tindakan sendiri. Mereka pergi ke rumah Maradona di Posillipo, Napoli untuk meyakinkan sang legenda ikut terbang ke Moskow. Namun mantan istri Maradona, Claudia Villafane menyebut pasangannya tidak akan pergi ke Moskow.

Maradona kembali terlelap dengan pesta mewah dengan berbagai jenis adiksi yang ia gunakan selama masa kariernya di Napoli. Siuman dari tidurnya, Maradona mengetahui bahwa tim telah berangkat ke Moskow. Ia memutuskan untuk terbang menggunakan pesawat jet pribadi dengan biaya sendiri.

Tiba larut malam Maradona berpakaian mantel bulu panjang yang mencolok dan mengatasi kekecewaannya dengan mengunjungi Lapangan Merah Rusia pada pukul 2 pagi waktu setempat. Ia ditemani oleh polisi Rusia, sejatinya Lapangan Merah tersebut ditutup karena perayaan ulang tahun Revolusi Oktober keesokan harinya. Memiliki privilege yang berbeda dari kebanyakan masyarakat, Maradona akhirnya berhasil masuk ke dalam Lapangan Merah serta mengunjungi Mausoleum Lenin.

Kerumunan 86 ribu orang di dalam Stadion Lenin (sekarang Luzhniki) jadi awal kisah asmara Maradona bersama Napoli meredup. Berita besarnya adalah nomor punggung 10 digunakan oleh Gianfranco Zola.

Dalam situasi terdesak pelatih Alberto Bigon memasukan Maradona pada menit ke-64 untuk maksud memberikan keajaiban. Maradona turun dengan jersey bernomor 16, meski pada akhirnya keberada Maradona di atas lapangan tak membuahkan hasil positif.

Keluar lebih awal dari turnamen membuat marah hierarki klub, keputusan mengejutkan pun diambil oleh Ferlaino beserta direktur olahraga Luciano Moggi untuk segera memberikan tekanan kepada Maradona bahwa semua penampilan indahnya di atas lapangan tak bisa dibenarkan.

Ferlaino dan Moggi harus menggunakan kembali tipu-muslihat untuk mendepak Maradona ke luar Stadion San Paolo. Skema untuk menjual Maradona tentu tak akan dibiarkan oleh para tifosi yang sudah kadung menuhankan sang pemain. Praktis, kedua sosok memilih tindakan untuk tidak mau lagi melindungi Maradona dari segala macam praktik dan kebiasaan buruknya.

Moggi yang sebelumnya harus mendapatkan urin bersih untuk meloloskan Maradona saat menjalani tes narkoba kini sudah tidak mempraktekkan pekerjaan itu, kejahatan Maradona adalah rahasia terburuk Serie A dan, seolah-olah, mereka akan membiarkan Maradona gantung diri.

Bahkan Ferrara, yang masih mengidolakan Maradona, percaya Moskow adalah awal dari akhir. Adegan menghantui di pesta Natal Napoli 1990, yang dikemas dalam film dokumenter Asif Kapadia 2019.

Kiamat datang lebih cepat dari yang diperkirakan Maradona sekarang dilucuti dari klubnya. Surat kabar lokal menurunkan berita adanya hubungan Maradona dengan mafia Camorra yang terdeteksi melalui pesan suara.

Nahasnya Maradona gagal dalam tes doping setelah pertandingan melawan Bari pada 17 Maret 1991, dengan partai terakhirnya untuk klub dimainkan saat kalah 1-4 atas Sampdoria. Maradona saat itu mencetak gol terakhirnya melalui titik penalti.

Selain itu ia, Maradona dijatuhi hukuman dan dilarang bermain selama 15 bulan, reputasinya hancur pada usia 30 tahun. Adapun Napoli finis di urutan ke-8 Serie A Italia, dan tidak pernah memenangkan Scudetto sejak saat itu.

Era yang gemilang memiliki akhir yang paling memalukan, tetapi baik Napoli maupun Maradona tidak pernah kehilangan kemistri. Untuk semua kekurangannya, hubungan pemain atau klub yang paling intens adalah sempurna, setidaknya untuk sementara waktu. Tetapi perjalanan ke Moskow mengubah segalanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement